Umat
Islam kini laksana makanan yang dikerubuti dari berbagai arah. Sekadar
contoh, Indonesia. Cengkeraman liberalisme makin telanjang. Setelah
upaya liberalisasi energi (miyak dan listrik), kini upaya liberalisasi
budaya terus membanjiri. Tahun lalu, Aminah Wadud datang ke Indonesia,
diam-diam. Ia menggelar beberapa acara di Jakarta dan Yogyakarta.
Promosi bahwa perempuan boleh menjadi imam shalat, talak bukan hanya di
tangan laki-laki tapi juga perempuan, dan sebagainya terus dicekokkan.
Lady
Gaga didatangkan. ‘Ratu Illuminatif’ yang kerap menampilkan
simbol-simbol Yahudi itu akan mengadakan konser di Indonesia, awal Juni
2012. Hanya saja, katanya, dibatalkan karena banyak penolakan. Wajar
apabila seorang tokoh menyampaikan kepada saya, “Konser Lady Gaga batal.
Alhamdulillah, ia menjadi amal shalih bagi teman-teman yang tegar
menolaknya.”
Saya
sampaikan kepada beliau, “Negeri kita ini aneh. Di beberapa negara
non-Muslim seperti Korea dan Cina, kehadiran Lady Gaga ditolak. Malaysia
juga menolak. Eh, di Indonesia yang mayoritas Muslim malah diterima.
Ada ormas yang membawa nama Islam lagi yang membelanya.”
Upaya menjajakan lesbianisme pun masuk ke Indonesia. Minggu kedua Mei, Irshad Manji datang ke Indonesia. Bukunya, Allah, Liberty and Love
dibedah. Lagi-lagi, dengan alasan kebebasan berbicara, ada pihak yang
sok demokratis justru membelanya. Padahal dia menjajakan paham lesbi
dengan cara merusak Islam. Pengrusakan ini jelas terlihat dalam tajuk
situs resminya, ‘For Muslim Reform and Moral Courage’.
Pengrusakan Islam dengan memunculkan keberanian untuk merusak ajarannya.
Beruntung, penolakan terjadi di berbagai tempat, termasuk Jakarta,
Solo, dan Yogyakarta. Dalam satu kesempatan di depan forum tokoh saya
katakan, “Slogan yang dia usung adalah ‘Faith without fear’,
keimanan tanpa rasa takut. Tanpa rasa takut kepada Allah SWT dan
Rasul-Nya. Padahal justru di antara ciri orang beriman adalah takut
kepada Allah (khasyiya rabbahu). Ini upaya musuh Islam untuk
menghancurkan Islam melalui pengrusakan Islam oleh orang yang secara
fisik mengaku Muslim. Makanya, kita harus tegas menggunakan istilah
al-Quran siapa yang mukmin, kafir, fasik dan zalim.”
Dalam
berbagai diskusi dengan para tokoh dari ormas Islam selalu saja mencuat
bagaimana agar berbagai persoalan seperti itu tuntas. Sekalipun
berbagai pikiran muncul, ada satu kesepakatan pandangan, yaitu
penuntasan semua persoalan tersebut memerlukan negara yang benar-benar
membela Islam. Semakin banyak serangan dan upaya pengrusakan Islam oleh
berbagai pihak, termasuk kaum liberal yang merupakan antek negara kafir
penjajah, semakin cepat pula kesadaran para tokoh tentang pentingnya
negara yang menerapkan syariah. Inilah yang biasa disebut orang dengan ‘blessing in disguise’.
Namun, saya mengistilahkannya dengan ‘mereka membuat makar, Allah pun
membuat makar, dan Allah adalah sebaik-baik Pembalas makar’.
Inilah yang menginspirasi Hizbut Tahrir Indonesia beberapa waktu lalu mengadakan workshop
tokoh. Temanya sangat fokus: syariah dan khilafah, serta metode untuk
meraihnya. Alhamdulillah, antusiasme tokoh cukup besar. Ada 22 orang
tokoh hadir. Pandangan pun mengerucut pada kesimpulan pentingnya syariah
dan Khilafah.
Zahir
Khan dari Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) menyampaikan,
“Sekarang, Islam berkembang terus di dunia, termasuk di AS dan Eropa.
Paus bahkan mengakui Islam melampaui jumlah mereka. Semua ini karena
Islam adalah wahyu. Semua ini karena syariah. Barat (Spanyol) beradab
karena syariah Islam. Jadi, kalau ingin berperadaban maka terapkan
syariah Islam.”
Secara
praktis, hukum Islam adalah solusi. “Syariah Islam bukan sekadar wajib,
melainkan satu-satunya yang baik. Kami, sebagai advokat paling tahu
tentang realitas hukum saat ini. Persoalannya, kapan syariah tegak?”
tegas Ahmad Michdan, pengacara senior dari Tim Pengacara Muslim (TPM).
Untuk itu, beliau menyarankan agar di berbagai daerah, setiap ormas
perlu ada ‘pelatihan’ advokat untuk mengawal bagaimana syariah Islam
ditegakkan.
Pandangan
menarik datang dari dosen Institut Ilmu Pemerintahan yang juga aktif di
Komisi Pemilihan Umum (KPU), Yosmardin. Pak Yos, panggilan akrab
beliau, mengungkapkan bahwa syariah dan Khilafah merupakan satu-satunya
cara dan obat untuk keluar dari persoalan kita. Realitas di lapangan
menunjuk-kan, pemilihan dikuasai dengan uang. Hanya orang yang punya
uang saja yang dapat berkuasa. Biaya yang dikeluarkan oleh negara pun
besar, tetapi hasilnya adalah pemimpin yang tidak dapat menyelesaikan
apa-apa. “Kita harus concern pada sistem syariah dan Khilafah,” tegasnya.
M.
Sabili Raun dari al-Ittihadiyah berharap Indonesia memiliki modal
sosial bagi tegaknya syariah dan Khilafah. Terkait masalah ini, Umar
Husin dari al-Irsyad menyatakan bahwa umat Islam di Indonesia memiliki
modal sosial yang cukup besar. Di antaranya adalah realitas bahwa
non-Muslim bila melihat hukum syariah membawa maslahat, mereka
mendukung, seperti bank syariah. Di Aceh non-Muslim mendukung Qonun NAD.
Bahkan umat Islam di Indonesia merupakan satu kaitan dengan Melayu
(Malaysia, Singapura, Pattani, dsb). “Hanya saja memang ada kendala
sosio-psikologis. Belum tahu, sudah menolak. Kata khilafah belum familiar,” tambahnya. Ia pun segera menambahkan, “Kalau sudah saatnya, Khilafah niscaya akan tegak.”
Kesadaran
dan keyakinan akan menyatunya umat Islam dalam Khilafah makin merata ke
banyak kalangan. Joserizal Jurnalis, Ketua Presidium Mer-C, menegaskan,
“Orang yang beriman mesti menerima Khilafah. Khilafah adalah naungan
bagi penerapan syariah. Perbedaannya adalah penentuan timing saat melakukan take over,
dan apa yang dilakukan sebelum tegaknya Khilafah.” Dalam upaya menuju
ke arah sana, beliau menyarankan agar semua umat Islam mengkaji tentang
konspirasi zionis. Zionis adalah peradaban yang tidak cocok hidup di
muka bumi. Orang Islam harus head to head dengan zionis begitu juga dengan Katolik.
Memang,
harus diakui, perlu ada upaya untuk menyatukan langkah menuju tegaknya
syariah dan Khilafah. Benar apa yang dikatakan Ketua Umum Syarikat
Islam, Djauhari Syamsuddin, “Masalahnya adalah masalah kesatuan. Umat
Islam tidak punya kesamaan visi, misi dan format gerakan. Perlu pemimpin
umat. Sekarang yang ada adalah pemimpin lembaga/organisasi. Kita perlu
manajemen siyasi.”
Semua
itu setidaknya memberikan gamba-ran: pertarungan antara haq dan batil
terus berlangsung. Upaya untuk merusak Islam semakin kencang. Namun,
upaya memperbaiki masyarakat melalui tegaknya syariah dan Khilafah juga
semakin mendapat sambutan. Jadi? Berlomba-lombalah menjadi pembela
Islam! []
sumber: http://hizbut-tahrir.or.id/2012/06/06/pertarungan-haq-dan-batil/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar