Sabtu, 09 Juni 2012

Jalan Mendaki Menuju Surga Abadi


[QS al-Balad [90]: 11-16]
فَلا اقْتَحَمَ الْعَقَبَةَ * وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْعَقَبَةُ * فَكُّ رَقَبَةٍ * أَوْ إِطْعَامٌ فِي يَوْمٍ ذِي مَسْغَبَةٍ * يَتِيمًا ذَا مَقْرَبَةٍ * أَوْ مِسْكِينًا ذَا مَتْرَبَةٍ *
Namun ia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. Tahukah kamu, apakah jalan mendaki lagi sukar itu? Yaitu membebaskan budak; atau memberi makan pada hari kelaparan, kepada anak yatim yang memiliki hubungan kerabat atau orang miskin yang sangat fakir. (QS al-Balad [90]: 11-16).
Kandungan ayat-ayat ini masih melanjutkan ayat-ayat sebelumnya. Sebelumnya diberitakan mengenai adanya sebagian manusia yang bersikap congkak dan sombong hingga menganggap tidak ada yang berkuasa atas dirinya. Mereka mengira tidak ada yang melihat tingkah polah mereka. Mereka juga mengatakan bahwa mereka telah membelanjakan harta yang sangat banyak.
Dalam beberapa ayat selanjutnya mereka diingatkan tentang sejumlah kenikmatan yang yang telah Allah SWT berikan kepada mereka. Kenikmatan itu berupa organ tubuh yang amat penting dan berguna bagi manusia, yakni dua mata, lidah dan dua bibir; juga kenikmatan amat besar lainnya berupa petunjuk Allah SWT yang terang-benderang tentang dua jalan: jalan kebaikan dan jalan keburukan.
Beberapa ayat ini pun lantas memberitakan tentang orang-orang yang tidak menempuh jalan kebaikan yang telah ditunjukan oleh-Nya. Jalan kebaikan tersebut disebut sebagai al-‘aqabah, jalan yang sukar lagi mendaki. Kemudian diterangkan beberapa perbuatan yang terkategori sebagai al-‘aqabah tersebut. Inilah jalan yang seharusnya ditempuh manusia.

Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Falâ [i]qtahama al-‘aqabah (Namun, ia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar). Pengertian al-iqtihâm, menurut az-Zamakhsyari, adalah al-duhkûl wa al-mujâwazah bi syiddah wa masyaqqah (masuk dan melintasi dengan penuh kesempitan dan kesukaran).1 Menurut ar-Razi dan al-Baghwi, kata tersebut bermakna al-dhukhûl fî al-amri al-syadîd (masuk pada suatu urusan atau perkara yang keras).2
Adapun al-‘aqaba berarti tharîq fî al-jabal wa’r (jalan di gunung yang tidak rata dan sukar dilalui).3 Al-Qinuji juga menerangkan bahwa kata al-‘aqabah pada asalnya berarti ath-tharîq al-sha’b (jalan yang sukar) yang ada di gunung. Dinamakan demikian karena berat untuk menempuh jalan tersebut.4
Pengertian yang dikemukakan al-Alusi lebih luas. Menurut beliau, al-‘aqabah berarti ath-tharîq al-qa’r (jalan yang sukar, tidak rata, kasar), di gunung dan laut; yakni sesuatu yang sulit dan mendaki.5
Dalam konteks ayat ini, kata al-‘aqabah tidak menunjuk fakta tersebut. Sebagaimana dinyatakan Ibnu Juzyi al-Kalbi, kata al-‘aqabah dalam ayat ini merupakan ungkapan yang menunjuk pada beberapa amal yang akan disebutkan dalam ayat sesudahnya. Penyebutan al-‘aqabah diambil dari jalan sulit di gunung. Sebab, menempuh jalan tersebut memang menyulitkan dan menyusahkan jiwanya.6
Huruf tersebut merupakan lâ nafiyyah yang berguna untuk menegasikan kata sesudahnya. Demikian pendapat Abu Ubaidah, al-Farra‘ dan az-Zajjaj.7 Dengan demikian, sebagaimana diterangkan dinyatakan az-Zuhaili, ayat ini bermakna lam yaqtahim (dia tidak menempuh). Menurut beliau, huruf dalam al-mâdhî (waktu lampau) sama dengan mustaqbal (waktu yang akan datang), seperti dalam QS al-Qiyamah [75]: 31).8 Dengan demikian, ayat ini memberitakan tentang adanya orang yang tidak menempuh jalan yang sukar lagi sulit tersebut.
Menurut Ibnu Zaid dan jamaah mufassirin, makna kalimat istifhâm di sini adalah al-inkâri (untuk mengingkari). Kalimat tersebut diperkirakan berbunyi: Afalâ [i]qtahama al-‘aqabah; atau: hallâ [i]qtahama al-‘aqabah (mengapa dia tidak menempuh jalan sukar dan mendaki)?9
Kemudian Allah SWT berfirman: Wamâ adrâka mâ al-‘aqabah (Tahukah kamu, apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu?). Kalimat dalam ayat ini berbentuk istifhâm (kalimat tanya). Dijelaskan al-Qurthubi, khithâb atau seruan ayat ini kepada Nabi saw. untuk mengajari beliau tentang iqtihâm al-‘aqabah (menempuh jalan yang sukar lagi mendaki). 10 Seruan kepada Rasulullah saw. juga seruan bagi umatnya.
Adapun bentuk kalimat tanya tersebut memberikan makna ta’zhîm liltizâm amr al-dîn (mengagungkan perkara agama).11Al-Jazairi juga memaknai kalimat itu sebagai tafkhîm lisya’nihâ wa ta’zhîm lahu (mengagungkan dan membesarkan perkaranya).12 Pendapat senada dikemukakan Ibnu Juzyi al-Kalbi.13
Dengan demikian, ayat ini berguna untuk memunculkan rasa penasaran bagi semua pendengar atau pembacanya untuk mengetahui lebih jauh tentang al-‘aqabah serta melahirkan ketertarikan yang besar dan motivasi yang kuat untuk mengerjakannya.
Selanjutnya dijelaskan tentang maksud dari al-‘aqabah. Allah SWT berfirman: Fakku raqabah ([yaitu] membebaskan budak). Kata al-fakk berarti takhlîsh asy-syay’ min asy-syay’ (melepaskan sesuatu dari sesuatu yang lain). Demikian penjelasan ash-Shabuni.14 Diterangkan juga al-Quthubi dan asy-Syaukani bahwa pengertian al-fakk adalah hall al-qayd (melepaskan ikatan atau belenggu). Adapun ar-riqq (budak, hamba sahaya) adalah qayd (belenggu). Al-Marfûq (orang yang dibelenggu) disebut raqabah karena budak tersebut diikat seperti halnya tawanan yang diikat lehernya. Dikatakan: lehernya dilepaskan seperti melepaskan tawanan dari penawanan.15
Kemudian Allah SWT berfirman: aw ith’âm fî yawm dzî masghabah (atau memberi makan pada hari kelaparan). Kata masghabah merupakan bentuk maf’al dari kata saghab yang berarti majâ’ah.16 Karena itu, sebagaimana diterangkan Ibnu Abbas, kata yawm dzî masghabah bermakna yawm majâ’ah (waktu kelaparan).17 Kata as-saghab berarti al-jû’ (kelaparan), dan as-sâghib berarti al-jâi’ (orang yang kelaparan).18
Memberi makan merupakan tindakan utama. Tindakan ini pada waktu kelaparan atau paceklik tentu lebih utama. Lebih utama lagi ketika makanan itu diberikan kepada orang-orang yang lemah, tak berdaya dan amat membutuhkan.
Inilah yang disebutkan dalam ayat berikutnya: yatîm[an] dzâ maqrabah ([kepada] anak yatim yang memiliki hubungan kerabat). Anak yatim adalah anak yang ditinggal mati oleh ayahnya sebelum dia balig. Batas seorang anak disebut yatim adalah ketika anak tersebut telah balig dan dewasa. Menurut ahli bahasa, disebut yatim karena kelemahannya. Dikatakan: yatima ar-rajul yatm[an] ketika laki-laki tersebut lemah.19
Sebagaimana masghabah, kata maqrabah juga merupakan bentuk maf’alah dari kata qaruba (dekat). Artinya, terdapat kedekatan hubungan nasab.20 Dengan demikian, pengertian dzâ maqrabah adalah dzâ qarâbah minhu (yang memiliki hubungan kekerabatan dengan dia). Demikian penjelasan Ibnu ‘Abbas, Ikrimah, al-Hasan, adh-Dhahhak, as-Sudi dan asy-Syaukani.21
Mereka adalah orang yang harus mendapatkan perhatian pertama pada waktu kelaparan, terutama anak-anak yatim yang memiliki hubungan kekerabatan dengan pemberinya. Menurut Imam al-Qurthubi, ayat ini memberitahukan bahwa sedekah kepada kerabat lebih utama daripada kepada selain mereka. Sebagaimana sedekah kepada anak yatim yang tidak memiliki penjamin lebih utama daripada yang memiliki penjamin.22 Rasulullah saw. juga bersabda:
إِنَّ الصَّدَقَةَ عَلَى الْمِسْكِيْنَ صَدَقَةٌ وَعَلَى ذِي الرَّحِيْمِ اثْنَتَانِ صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ
Sesungguhnya sedekah kepada orang miskin adalah sedekah. Adapun sedekah kepada kerabat ada dua (pahala), yakni: sedekah dan silaturahmi (HR an-Nasa’i).

Kemudian Allah SWT berfirman: aw miskîn[an] dzâ matrabah (atau kepada orang miskin yang sangat fakir). Kata miskîn adalah orang yang tidak memiliki sesuatu. Kondisinya lebih parah daripada al-faqîr.23Adapun matrabah merupakan maf’alah dari kata tariba,24artinya al-iftiqâr (kemiskinan).25Kata dzâ matrabah berarti tidak ada yang dimiliki hingga seolah-olah lekat dengan tanah karena miskinnya; tidak memiliki tempat tinggal kecuali tanah.26 Dengan demikian, penyebutan dzâ matrabah setelah miskîn menunjukkan kondisinya yang amat miskin. Mereka juga termasuk orang yang diutamakan diberikan makan pada musim peceklik dan kelaparan.
Inilah jalan sukar dan mendaki. Kendati amat berat ditempuh, namun jalan inilah yang harus dipilih. Sebab, jalan ini akan mengantarkan pelakunya mendapatkan kebahagiaan dan kemuliaan abadi. Dalam ayat berikutnya pelakunya disebut sebagai ash-hâb al-maymanah (golongan kanan).

Perbuatan Mulia Berpahala Besar
Sebagaimana telah disinggung di muka, ayat-ayat ini menjelaskan tentang sejumlah perbuatan baik dan mulia yang harus ditempuh manusia. Perbuatan tersebut adalah membebaskan budak dan memberi makan pada waktu kelaparan kepada anak-anak yatim yang memiliki hubungan kerabat dan orang-orang yang sangat miskin.
Dalam ayat ini, perbuatan itu disebut sebagai al-‘aqabah, yakni jalan yang sukar dan mendaki. Disebut demikian karena memang tidak mudah menempuh jalan tersebut; diperlukan perjuangan besar, bahkan harus dilakukan dengan berat dan susah-payah.
Betapa tidak. Secara fitri manusia memerlukan dan mencintai harta. Realitas tersebut mendorong manusia untuk mencari harta itu, kadang dengan susah-payah. Namun, ketika harta itu telah didapatkan, sebagiannya harus diberikan kepada orang lain tanpa ada kompensasi yang diterima; apalagi jika harta yang harus dikeluarkan jumlahnya kadang amat besar, seperti untuk membebaskan budak serta memberi makan pada masa kelaparan dan paceklik. Perbuatan tersebut jelas tidak ringan dilakukan, bahkan akan terasa berat dan sukar seperti halnya mendaki jalan mendaki di atas gunung.
Akan tetapi, patut dicatat bahwa rasa berat dan sukar itu terjadi manakala pelakunya hanya terfokus pada beratnya menempuh jalan tersebut, atau hanya menggunakan pertimbangan dan kalkulasi materi duniawi Apabila dia mau menengok besarnya pahala dan balasan kebaikan dari Allah SWT, niscaya akan terasa ringan, bahkan akan merasakan kebahagiaan tak terkira.
Mengenai besarnya pahala membebaskan budak diterangkan dalam banyak dalil. Di antaranya adalah sabda Rasulullah saw.:
مَنْ أَعْتَقَ رَقَبَة أَعْتَقَ اللهُ بِكُلِّ عُضْوٍ مِنْهَا عُضْوًا مِنْ أَعْضَائِهِ مِنَ النَّارِ، حَتَّى فَرْجَهُ بِفَرْجِهِ
Siapa saja yang membebaskan seorang budak, niscaya Allah akan membebaskan setiap anggota badannya dari api neraka dengan sebab pembebasannya untuk setiap anggota badan budak tersebut, bahkan kemaluannya dengan kemaluan budak yang dibebaskan itu (HR al-Bukhari).

Demikian juga dengan pahala memberi makan. Disediakan pahala besar bagi pelakunya. Abdullah bin Amru meriwayatkan, ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi saw.:
أَىُّ اْلإِسْلاَمِ خَيْرٌ قَالَ تُطْعِمُ الطَّعَامَ، وَتَقْرَأُ السَّلاَمَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ
“Islam apakah yang paling baik?” Beliau menjawab, “Kalian memberi makan (orang lain) dan mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenal maupun tidak.” (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan at-Tirmidzi)

Pahala semakin besar manakala makanan tersebut diberikan kepada orang-orang yang amat membutuhkan. Anak yatim adalah di antaranya. Mereka adalah anak-anak yang lemah dan membutuhkan uluran tangan. Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ قَبَضَ يَتِيْمًا بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَى طَعَامِهِ وَشَرَابِهِ أَدْخَلَهُ اللهُ الْجَنَّةَ الْبَتَّةَ إِلاَّ أَنْ يَعْمَلَ ذَنْبًا لاَ يُغْفَرُ لَهُ
Siapa saja yang memberi makan dan minum seorang anak yatim di antara kaum Muslim, maka Allah akan memasukkan dirinya ke dalam surga, kecuali dia melakukan satu dosa yang tidak diampuni (HR at-Tirmidzi).

Demikian juga orang-orang yang amat miskin. Mereka adalah orang yang lemah dan tak berdaya sehingga memerlukan bantuan dan uluran tangan. Terhadap orang yang membantu mereka, dijanjikan pahala yang amat besar. Abu Hurairah ra. Menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
السَّاعِى عَلَى الأَرْمَلَةِ وَالْمِسْكِيْنَ كَالْمُجَاهِدِ فِى سَبِيلِ اللهِ -وَأَحْسِبُهُ قَالَ: يَشُكُّ الْقَعْنَبِىُّ-كَالْقَائِمِ لاَ يَفْتُرُ وَكَالصَّائِمِ لاَ يُفْطِرُ
“Orang yang berusaha untuk kepentingan seseorang janda atau orang miskin itu seperti orang yang berjihad fisabilillah,” dan saya—yang merawikan hadis ini—mengira bahwa beliau juga bersabda, “seperti pula seorang yang melakukan shalat malam yang tidak pernah letih, juga seperti orang berpuasa yang tidak pernah berbuka.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Demikianlah pahala yang amat besar yang dijanjikan atas perbuatan yang secara lahir tampak berat. Semoga kita termasuk orang yang merasa ringan dan riang dalam menempuh jalan mendaki itu.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []

sumber: http://hizbut-tahrir.or.id/2012/06/06/jalan-mendaki-menuju-surga-abadi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar