Bersamaan dengan meninggalnya Gus Dur (mantan Presiden RI ke-4), isu pluralisme kembali menjadi perbincangan. Selama beberapa hari hampir semua media cetak menjadikan pluralisme sebagai berita utama, baik dikaitkan langsung dengan sosok Gus Dur maupun tidak. Isu pluralisme kembali mencuat terutama setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjuluki Gus Dur sebagai “Bapak Pluralisme” yang patut menjadi teladan bagi seluruh bangsa. (Antara.co.id, 31/12/2009).
Mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Amien Rais pun menilai Gus Dur sebagai ikon pluralisme (Kompas.com, 2/1/2010).
Kalangan liberal tak ketinggalan. Salah seorang
aktivisnya, Zuhairi Misrawi, menulis bahwa dalam rangka memberikan
penghormatan terhadap Gus Dur sebagaimana dilakukan oleh Presiden
Yudhoyono, akan sangat baik jika MUI mencabut kembali fatwa pengharaman
terhadap pluralisme (Kompas.com, 4/1/2010).
Sejumlah kalangan pun menilai penting untuk
memelihara nilai-nilai pluralisme pasca Gus Dur. Mantan Wakil Presien
Jusuf Kalla (JK), misalnya, mengharapkan semangat kebersamaan dan
pluralisme yang selalu dikobarkan Gus Dur tetap terjaga (Detik.com, 30/12/2009).
Pertanyaannya, bagaimana dengan MUI sendiri yang
dalam fatwanya No.7/MUNAS VII/MUI/11/2005 telah dengan jelas-jelas
menyebutkan bahwa pluralisme (selain sekularisme dan liberalisme) adalah
paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam, dan umat Islam haram mengikuti paham tersebut? Lebih penting lagi, bagaimana sesungguhnya pluralisme menurut pandangan Islam?
Hakikat Pluralisme
Pluralisme sering diartikan sebagai paham yang
mentoleransi adanya ragam pemikiran, agama, kebudayaan, peradaban dan
lain-lain. Kemunculan ide pluralisme didasarkan pada sebuah keinginan
untuk melenyapkan ‘klaim keberanan’ (truth claim) yang dianggap
menjadi pemicu munculnya sikap ekstrem, radikal, perang atas nama
agama, konflik horisontal, serta penindasan atas nama agama. Menurut
kaum pluralis, konflik dan kekerasan dengan mengatasnamakan agama baru
sirna jika masing-masing agama tidak lagi menganggap agamanya yang
paling benar.
Inilah hakikat ide pluralisme agama yang saat ini
dipropagandakan di Dunia Islam melalui berbagai cara dan media. Dari ide
ini kemudian muncul gagasan lain yang menjadi ikutannya seperti dialog
lintas agama, doa bersama dan lain sebagainya. Pada ranah politik, ide
pluralisme didukung oleh kebijakan Pemerintah yang harus mengacu pada
HAM dan asas demokrasi. Negara memberikan jaminan sepenuhnya kepada
setiap warga negara untuk beragama, pindah agama (murtad), bahkan
mendirikan agama baru.
Di Balik Gagasan Pluralisme
Menurut kaum pluralis, keyakinan-keyakinah inilah
yang sering memicu terjadinya kerenggangan, perpecahan bahkan konflik
antarpemeluk agama. Karena itu, menurut mereka, diperlukan gagasan
pluralisme sehingga agama tidak lagi berwajah eksklusif dan berpotensi
memicu konflik.
Kedua, faktor kepentingan ideologis dari
Kapitalisme untuk melanggengkan dominasinya di dunia. Selain isu-isu
demokrasi, hak asasi manusia dan kebebasan serta perdamaian dunia,
pluralisme agama adalah sebuah gagasan yang terus disuarakan Kapitalisme
global yang digalang Amerika Serikat untuk menghalang kebangkitan
Islam.
Karena itu, jika ditinjau dari aspek sejarah, faktor
pertama bolehlah diakui sebagai alasan awal munculnya gagasan pluralisme
agama. Namun selanjutnya, faktor dominan yang memicu maraknya isu
pluralisme agama adalah niat Barat untuk makin mengokohkan dominasi
Kapitalismenya, khususnya atas Dunia Islam.
Konflik Sebagai Alasan?
Memang benar, dunia saat ini sarat dengan konflik.
Namun, tidak benar jika seluruh konflik yang terjadi saat ini dipicu
oleh faktor agama. Bahkan banyak konflik terjadi lebih sering berlatar
belakang ideologi dan politik. Dalam sekala internasional, konflik
Palestina-Israel lebih dari setengah abad, misalnya, jelas bukan konflik
antaragama (Islam, Yahudi dan Kristen). Sebab, toh dalam
rentang sejarah yang sangat panjang selama berabad-abad ketiga pemeluk
agama ini pernah hidup berdampingan secara damai dalam naungan Khilafah
Islam. Konflik Palestina-Israel ini lebih bernuansa politik yang
melibatkan penjajah Barat. Sejarah membuktikan, konflik Palestina-Israel
bermula ketika bangsa Yahudi (Israel) sengaja “ditanam” oleh penjajah
Inggris di jantung Palestina dalam ranga melemahkan umat Islam. Konflik
ini kemudian dipelihara oleh Amerika Serikat yang menggantikan peran
Inggris, untuk semakin melemahkan kekuatan umat Islam, khususnya di
Timur Tengah. Pasalnya, dengan begitu Barat dapat terus-menerus
menyibukkan umat Islam dengan konflik tersebut sehingga umat Islam
melupakan bahaya dominasi Barat—khususnya AS dan Inggris—sebagai
penjajah mereka.
Dalam sekala lokal, konflik yang pernah terjadi di
Maluku atau Poso beberapa tahun lalu, misalnya, juga lebih bernuansa
politik, yakni adanya campur tangan asing (yang tidak lain kaum penjajah
Barat) untuk melemahkan Indonesia yang berpenduduk mayoritas Muslim,
ketimbang berlatar belakang agama.
Sementara itu, dalam skala yang lebih luas dan
global, konflik Barat-Timur (yang sering dianggap mencerminkan konflik
Kristen-Islam), khususnya setelah Peristiwa 11 September 2001, juga
jelas lebih berlatarbelakang ideologi dan politik ketimbang agama.
Memang, sesaat setelah terjadinya Peristiwa 11 September, Presiden AS
George W Bush pernah “keseleo” dengan menyebut secara jelas bahwa WoT (War on Terrorism) sebagai Crussade (Perang
Salib) baru. Lalu setelah itu AS menyerang Afganistan, dan kemudian
dilanjutkan dengan menyerang Irak. Namun, banyak pakar Barat dan AS
sendiri yang menjelaskan bahwa serangan militer AS ke Afganistan maupun
Irak bahkan lebih bermotifkan ekonomi (yakni demi minyak)—di samping
politik (demi dominasi ideologi Kapitalisme), dan bukan bermotifkan
agama.
Karena itu, sangat tidak ‘nyambung’ jika untuk
menghentikan konflik-konflik tersebut kemudian dipasarkan terus gagasan
pluralisme dan ikutannya seperti dialog antaragama dll. Pasalnya, akar
konflik-konflik tersebut, sekali lagi, lebih bermotifkan ideologi dan
politik—yakni dominasi Kapitalisme yang diusung Barat, khususnya AS,
atas Dunia Islam—ketimbang berlatar-belakang agama.
Pluralisme Menurut Islam
Allah SWT berfirman:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌHai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan dan Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling bertakwa di sisi Allah (QS al-Hujurat [49]: 13).
Ayat ini menerangkan bahwa Islam mengakui keberadaan
dan keragaman suku dan bangsa serta identitas-identitas agama selain
Islam (pluralitas), namun sama sekali tidak mengakui kebenaran
agama-agama tersebut (pluralisme). Allah SWT juga berfirman:
وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَمَا لَيْسَ لَهُمْ بِهِ عِلْمٌ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ نَصِيرٍMereka menyembah selain Allah tanpa keterangan yang diturunkan Allah. Mereka tidak memiliki ilmu dan tidaklah orang-orang zalim itu mempunyai pembela (QS al-Hajj:67-71).
Ayat ini menegaskan bahwa agama-agama selain Islam
itu sesungguhnya menyembah kepada selain Allah SWT. Lalu bagaimana bisa
dinyatakan, bahwa Islam mengakui ide pluralisme yang menyatakan bahwa
semua agama adalah sama-sama benarnya dan menyembah kepada Tuhan yang
sama?
Dalam ayat yang lain, Allah SWT menegaskan:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللهِ اْلإِسْلاَمُSesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam (QS Ali Imran [3]: 19).
Allah SWT pun menolak siapa saja yang memeluk agama
selain Islam (QS Ali Imran [3]: 85); menolak klaim kebenaran semua agama
selain Islam, baik Yahudi dan Nasrani, ataupun agama-agama lainnya (QS
at-Taubah [9]: 30, 31); serta memandang mereka sebagai orang-orang kafir
(QS al-Maidah [5]: 72).
Karena itu, yang perlu dilakukan umat Islam
sesungguhnya bukan menyerukan pluralisme agama apalagi dialog antaragama
untuk mencari titik temu dan kesamaan. Masalahnya, mana mungkin Islam
yang mengajarkan tauhid (QS 5: 73-77; QS 19: 88-92; QS 112: 1-4)
disamakan dengan Kristen yang mengakui Yesus sebagai anak Tuhan ataupun
disamakan dengan agama Yahudi yang mengklaim Uzair juga sebagai anak
Tuhan?! Apalagi Islam disamaratakan dengan agama-agama lain? Benar,
bahwa eksistensi agama-agama tersebut diakui, tetapi tidak berarti
dianggap benar. Artinya, mereka dibiarkan hidup dan pemeluknya bebas
beribadah, makan, berpakaian, dan menikah dengan tatacara agama mereka.
Tetapi, tidak berarti diakui benar.
Karena itu, yang wajib dilakukan umat Islam tidak
lain adalah terus-menerus menyeru para pemeluk agama lain untuk memeluk
Islam dan hidup di bawah naungan Islam. Meski dengan catatan tetap tidak
boleh ada pemaksaan.
Bahaya di Balik Gagasan Pluralisme
Bahaya pertama adalah penghapusan identitas-identitas
agama. Dalam kasus Islam, misalnya, Barat berupaya mempreteli identitas
Islam. Ambil contoh, jihad yang secara syar’i bermakna perang
melawan orang-orang kafir yang menjadi penghalang dakwah dikebiri
sebatas upaya bersungguh-sungguh. Pemakaian hijab (jilbab) oleh Muslimah
dalam kehidupan umum dihalangi demi “menjaga wilayah publik yang
sekular dari campur tangan agama.” Lebih jauh, penegakan syariah Islam
dalam negara pun pada akhirnya terus dicegah karena dianggap bisa
mengancam pluralisme. Ringkasnya, pluralisme agama menegaskan adanya
sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan).
Bahaya lain pluralisme agama adalah munculnya
agama-agama baru yang diramu dari berbagai agama yang ada. Munculnya
sejumlah aliran sesat di Tanah Air seperti Ahmadiyah pimpinan Mirza
Ghulam Ahmad, Jamaah Salamullah pimpinan Lia Eden, al-Qiyadah
al-Islamiyah pimpinan Ahmad Mosadeq, dll adalah beberapa contohnya. Lalu
dengan alasan pluralisme pula, pendukung pluralisme agama menolak
pelarangan terhadap berbagai aliran tersebut, meski itu berarti penodaan
terhadap Islam.
Karena itu, wajar jika KH Kholil Ahmad, Pengasuh
Pondok Pesantren Gunung Jati Pamekasan Jawa Timur, menilai pluralisme
agama yang diusung Gus Dur berbahaya bagi umat Islam (Tempointeraktif.com, 30/12/2009).
Bahaya lainnya, pluralisme agama tidak bisa
dilepaskan dari agenda penjajahan Barat melalui isu globalisasi.
Globalisasi merupakan upaya penjajah Barat untuk mengglobalkan
nilai-nilai Kapitalismenya, termasuk di dalamnya gagasan “agama baru”
yang bernama pluralisme agama. Karena itu, jika kita menerima pluralisme
agama berarti kita harus siap menerima Kapitalisme itu sendiri.
Inilah di antara bahaya yang terjadi, yang
sesungguhnya telah dan sedang mengancam kaum Muslim saat ini ketika kaum
Muslim kehilangan Khilafah Islamiyah sejak hampir satu abad lalu.
Padahal Khilafahlah kepemimpinan umum bagi kaum Muslim yang menerapkan
Islam, melindungi akidah Islam serta menjaga kemuliaan Islam dari
berbagai penodaan, termasuk oleh pluralisme. []
sumber: http://hizbut-tahrir.or.id/2010/01/05/bahaya-pluralisme/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar