Minggu, 20 Mei 2012

Doa Seekor Kambing Untuk Burung Elang



Di sebuah padang rumput yang sangat luas tampak seekor kambing betina dan anaknya yang sedang menyusu, sementara itu diangkasa diatas mereka ada seekor  burung elang besar yang terbang berputar-putar mengelilingi mereka berdua. Dengan perut yang terasa sangat lapar, burung elang itu memandang keduanya  dengan mata yang buas  dan nafsu yang liar hendak memangsanya.
Sementara ia sangat bernafsu untuk menukik turun guna memburu mangsanya , tiba-tiba datanglah burung elang lain dan mulai terbang mendekati keduanya. Ia mulai berputar-putar mengelilingi kedua kambing itu dengan   mengibas-ibaskan sayapnya  yang besar dan kuat dengan gagahnya. Maka mulai timbullah didalam benak kedua burung elang itu nafsu keserakahan.

Pertarungan Dua Burung Elang

burng elang Doa Seekor Kambing Untuk Burung Elang
Maka bertemulah kedua burung elang yang sama-sama gagah dan kuat itu, lalu keduanya mulai bertarung dan berusaha untuk saling membunuh. Pertarungan itu begitu sengitnya, hingga jeritan-jeritan liar dan keras dari kedua burung elang itu terdengar sampai  memenuhi seluruh bagian dari padang rumput yang sangat luas itu.

Kedua kambing itu lalu menengadah keatas menyaksikan sengit dan  kerasnya pertarungan kedua burung elang ; raja angkasa yang sama-sama kuat itu dengan sangat herannya. Sejenak kemudian, kambing betina itu menoleh kepada anaknya, lalu berkata :

“Pikirkan dan renungkanlah wahai anakku, betapa anehnya kelakuan dua burung elang yang sangat hebat itu. Sungguh aneh dan mengherankan sekali keduanya saling bertarung untuk saling membunuh. Angkasa ini sangat luas, cukuplah bagi kedua burung elang itu untuk hidup dengan tenang dan tentram. Maka berdoalah wahai anakku, berdoalah kepada Tuhan didalam hatimu, agar Tuhan memberikan keselamatan dan kedamaian kepada kedua kawan kita yang sedang bertarung itu. Dan mohonlah kepada Tuhan agar engkau dijauhkan dari sifat serakah. Mohonlah kepadaNya agar engkau selalu bersyukur dengan pemberianNya yang tidak terhitung ini. Tundukkanlah nafsumu agar terhindar dari sifat tamak seperti kedua burung elang itu ”.

sumber: http://adehumaidi.com/cerpen/doa-seekor-kambing-untuk-burung-elang

Apa Hubungan Sabar Dan Doa?

Pak Ustad kami ingin berdiskusi tentang sabar, sebagaimana dikatakan banyak ayat dalam Al Quran, bahwa kita sebagaimana manusia harus ber “Sabar“. Nah, konteks yang mana kita boleh ber- sabar dan makna yang bagaimana ke sabar an pada kita. Selama ini yang kita lihat banyak fenomena sehari-hari ke sabar an ini sudah ditinggalkan oleh sebagian manusia, yang menjadikan makna dari sabar ini sudah tidak ada lagi.

Kemudian di dalam menyampaikan permohonan-permohonan kepada Tuhan, supaya ber sabar. Sabar yang bagaimana? Apakah kita harus menunggu? Kadang-kadang kita sudah merasa bekerja keras dalam hal fisik untuk menempuh agar yang kita inginkan didapatkan, tetapi belum memperoleh juga. Sampai dimana ke sabar an harus kita pertahankan? Terima kasih. Assalamu’alaikum wr. wb. Edi Susilo – Trenggalek

Makna Sabar Dan Doa

sabar Apa Hubungan Sabar Dan Doa?
Wa’alaikumussalam Wr. Wb. Yth.Pak Edi, Dalam al-Qur’an surah Fusshilat : 49 dikatakan :
“Manusia tidak jemu memohon kebaikan, dan jika mereka ditimpa malapetaka dia menjadi putus asa lagi putus harapan”.

Putus asa adalah sifat yang tercela. Tidak selayaknya seorang mu’min berputus asa dalam segala hal, baik dalam berdo’a kepada Allah maupun dalam menghadapi kehidupan ini. Ketika kita berdo’a kepada Allah, maka tidak terlepas dari dua kemungkinan, dikabulkan atau tidak. Kalau dikabulkan kita harus segera bersyukur kepada Allah. Namun bila merasa belum dikabulkan, kita tidak dibolehkan cepat-cepat berkeyakinan bahwa do’a kita tidak dikabulkan Allah bahkan sebaliknya kita tetap berbaiksangka dan ber sabar.. Ada beberapa kemungkinan yang terjadi. Mungkin do’a kita belum dikabulkan Allah, atau Allah akan mengganti dengan yang lebih baik dari yang kita minta, atau mungkin diri kita belum siap atau tidak layak untuk mendapatkan permintaan kita. Itulah, maka doa yang kita panjatkan kepada Allah, hasil dan buahnya tidak bisa kita ukur dengan waktu. Rasulullah pernah berdo’a

“Ya Allah berilah petunjuk kaumku, karena mereka banyak yang bodoh”.

Apa yang terjadi, apakah semua kaumnya beriman? Ternyata sampai Rasulullah wafat pun masih banyak kaumnya yang tidak beriman, namun Rasulullah tidak berputus asa dan terus berusaha bahkan berpesan kepada umatnya agar meneruskan perjuangannya. Dalam sebuah hadist Rasulullah mengatakan :
“Mintalah karunia Allah, karena Allah senang kalau dimintai sesuatu dan sebaik-baik ibadah adalah menunggu dibukanya kesulitan kita” (H.R. Tirmizi).

Itulah sebaik-baik ibadah, menunggu hingga dihilangkannya kesulitan dan kesedihan kita dan tidak mengeluh kepada selain Allah. Sikap seorang mu’min yang baik adalah yang sabar, tidak mudah berputus asa dan tidak mudah kecewa, senantiasa besar hati dalam menerima apapun yang dialami dan dideritanya, karena itu semua atas kehendak Allah. Maka dalam ayat lain dikatakan bahwa sikap berputus asa adalah sikap orang kafir;

“Dan orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah dan Pertemuan dengan Dia, mereka putus asa dari rahmat-Ku, dan mereka itu mendapat azab yang pedih.” (al-Ankabut: 23)
Ini karena mereka yang berputus asa atas rahmat Allah telah menentang kehendak Allah dan ingin memaksa Allah dengan kehendaknya. Dari keterangan ini bisa pahami arti sabar dan doa.

sumber: http://adehumaidi.com/islam/apa-hubungan-sabar-dan-doa

Tahukah Anda Manfaat Berdoa ?

Berdoa yang secara etimologis berarti meminta kepada Allah mempunyai tujuan-tujuan yang bukan saja bersifat ukhrawi, melainkan juga bersifat duniawi sebab berdoa bukanlah untuk kepentingan Allah melainkan untuk kepentingan manusia itu sendiri. Kalaupun kita berdoa untuk memohon segala sesuatu yang kita butuhkan, yang kita inginkan ataupun hanya untuk menenangkan diri dari segala kesusahan namun doa mempunyai beberapa faidah yang tak terhingga dari berdoa itu sendiri.

Tujuan Dan Manfaat Berdoa

berdoa Tahukah Anda Manfaat Berdoa ?
Syekh Sayyid Tantawi, syaikhul Azhar di Mesir, merangkum manfaat berdoa itu dalam tiga poin:

**Manfaat berdoa yang pertama yaitu doa berfungsi untuk menunjukkan keagungan Allah swt kepada hamba-hambaNya yang lemah. Dengan berdoa seorang hamba menyadari bahwa hanya Allah yang memberinya nikmat, menerima taubat, yang memperkenankan doa-doanya. Allah swt. berfirman:
“…atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati-Nya (QS. An Naml:62).

Tak ada satupun anugerah yang bisa diberikan kecuali oleh Allah swt yang Maha Pemberi, yang membuka pintu harapan bagi hamba-hamba-Nya yang berdosa sehingga sang hamba tidak dihadapkan pada keputusasaan. Bukankah Allah swt berjanji akan selalu mengabulkan doa hamba-hambaNya yang memohon dan berdoa kepada Nya?
“Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu”. (QS Ghafir: 60)

Janji Allah untuk mengabulkan doa kita merupakan tahrid (motivasi) untuk bersegera berbuat baik, dan tarbiyah (mendidik) agar kita mengakui dan merasakan nikmat Allah sehingga jiwa kita semakin terdorong untuk selalu bersyukur. Sebab rasa syukur itu pula yang mendorongnya untuk bersungguh-sungguh dalam beribadah.

**Manfaat berdoa kedua yaitu, doa mengajari kita agar merasa malu kepada Allah. Sebab manakala ia tahu bahwa Allah akan mengabulkan doa-doanya, maka tentu saja ia malu untuk mengingkari nikmat-nikmatNya.
Bahkan manakala manusia sudah berada dalam puncak keimanan yang kuat sekalipun, maka ia akan lebih dekat lagi (taqarrub) untuk mensyukuri nikmat-Nya. Hal ini dicontohkan oleh nabi Sulaiman as. ketika berdoa:

“Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang jua pun sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi.” (QS. An Naml: 35).
Maka Allah pun mengabulkannya. Nabi Sulaiman bertanya kepada semua makhluk siapa yang mampu memindahkan singgasana Balqis ke hadapannya. Salah satu ifrit yang tunduk atas perintah nabi Sulaiman berkata:
- Q.S An- Naml, 39 :
39. berkata ‘Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin: “Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgsana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; Sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya”.

- Q.S An- Naml, 40 :
40. berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari AI Kitab[1097]: “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip”. Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: “Ini Termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku Apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). dan Barangsiapa yang bersyukur Maka Sesungguhnya Dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan Barangsiapa yang ingkar, Maka Sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia”.

[1097] Al kitab di sini Maksudnya: ialah kitab yang diturunkan sebelum Nabi Sulaiman ialah Taurat dan Zabur.

**Manfaat berdoa yang ketiga adalah mengalihkan hiruk-pikuk kehidupan dunia ke haribaan tafakur dan kekudusan munajat ke hadirat Allah swt, memutuskan syahwat duniawi yang fana menuju ketenangan hati dan ketentraman jiwa.

sumber: http://adehumaidi.com/islam/tahukah-anda-manfaat-berdoa

Jumat, 18 Mei 2012

Hidup, Bukan untuk Main-Main

.....................


Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami." (QS al-Mukminun 115)

Ibrahim bin Adham termasuk keturunan orang terpandang. Ayahnya kaya, memiliki banyak pembantu, kendaraan dan kemewahan. Ia terbiasa menghabiskan waktunya untuk menghibur diri dan bersenang-senang. Ketika ia sedang berburu, tak sengaja beliau mendengar suara lantunan firman Allah Ta’ala,
“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami.” (QS al-Mukminun : 115)

Serasa disambar petir. Ayat itu betul-betul menyentak beliau. Menggugah kesadaran, betapa selama ini telah bermain-main dalam menjalani hidup. Padahal hidup adalah pertaruhan, yang kelak akan dibayar dengan kesengsaraan tak terperi, atau kebahagiaan tak tertandingi. Yakni saat di mana mereka dikembalikan kepada Allah untuk bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya. Sejak itulah beliau tersadar, dan itulah awal beliau meniti hidup secara semestinya, hingga saksi sejarah mencatat beliau sebagai ahli ibadah dan ahli ilmu yang ‘bukan main’.

Bila Hidup Dianggap Main-Main
Rasa-rasanya, ayat ini seperti belum pernah diperdengarkan di zaman kita ini. Meski tidak terkalamkan, lisaanul haal menjadi bukti, banyak manusia yang menganggap hidup ini hanya iseng dan main-main. Aktivitasnya hanya berkisar antara tidur, makan, cari makan dan selebihnya adalah mencari hiburan. Seakan untuk itulah mereka diciptakan.

Ayat ini menjadi peringatan telak bagi siapapun yang tidak serius menjalani misi hidup yang sesungguhnya. Kata ‘afahasibtum’, (maka apakah kamu mengira), ini berupa istifham inkari, kata tanya yang dimaksudkan sebagai sanggahan. Yakni, sangkaan kalian, bahwa Kami menciptakan kalian hanya untuk iseng, main-main atau kebetulan itu sama sekali tidak benar. Dan persangkaan kalian, bahwa kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami, adalah keliru.

Allah tidak akan membiarkan manusia melenggang begitu saja, bebas berbuat, menghabiskan jatah umur, lalu mati dan tidak kembali,

”Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?” (QS. Al-Qiyamah 36)

Orang yang tidak mengetahui tujuan ia diciptakan, tak memiliki pathokan yang jelas dalam meniti hidup. Tak ada panduan arah yang bisa dipertanggungjawabkan, hingga ia akan terseok dan tertatih di belantara kesesatan.

Hanya ada tiga ’guide’ yang mungkin akan mereka percaya untuk memandu jalan. Pertama adalah hawa nafsu. Dia berbuat dan berjalan sesuai petunjuk nafsu. Apa yang diingini nafsu, itulah yang dilakukan. Kemana arah nafsu, kesitu pula dia akan berjalan. Padahal, nafsu cenderung berjalan miring dan bengkok, betapa besar potensi ia terjungkal ke jurang kesesatan.

Pemandu jalan kedua adalah setan. Ketika seseorang tidak secara aktif mencari petunjuk sang Pencipta sebagai rambu-rambu jalan, maka setan menawarkan peta perjalanan. Ia pun dengan mudah menurut tanpa ada keraguan. Karena sekali lagi, dia tidak punya ’kompas’ yang bisa dipertanggungjawabkan dalam menentukan arah perjalanan. Sementara, peta yang disodorkan setan itu menggiring mereka menuju neraka yang menyala-nyala,

”Sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni naar yang menyala-nyala.” (QS. Fathir: 6)
Rambu-rambu ketiga adalah tradisi orang kebanyakan. Yang ia tahu, kebenaran itu adalah apa yang dilakukan banyak orang. Itulah kiblat dan barometer setiap tingkah laku dan perbuatan. Padahal,
”Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS. al-An’am: 116)

Misi Hidup yang Bukan Main
Allah menciptakan manusia untuk tugas yang sangat agung; agar mereka beribadah kepada-Nya. Untuk misi itu, masing-masing diberi tenggat waktu yang sangat terbatas di dunia. Kelak, mereka akan mempertanggungjawabkan segala perilakunya di dunia, adakah mereka gunakan kesempatan sesuai dengan misi yang diemban? Ataukah sebaliknya; lembar catatan amal dipenuhi dengan aktivitas yang sama sekali tidak berhubungan dengan apa yang diperintahkan.

Di hari di mana mereka dinilai atas kinerja mereka di dunia, tak ada satu episode pun dari kehidupan manusia yang tersembunyi dari Allah. Bahkan semua tercatat dengan detil dan rinci, hingga manusiapun terperanjat dan keheranan, bagaimana ada catatan yang sedetil itu, mereka berkata,
”Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis).” (QS. al-Kahfi: 49)

Sebelum peluang terlewatkan, hendaknya kita bangun motivasi, untuk menjadikan hidup lebih berarti. Mudah-mudahan, fragmen singkat di bawah ini membantu kita untuk membangkitkan semangat itu.
Suatu kali Fudhail bin Iyadh bertanya kepada seseorang, “Berapakah umur Anda sekarang ini?” Orang itu menjawab, “60 tahun.” Fudhail berkata, “Kalau begitu, selama 60 tahun itu Anda telah berjalan menuju perjumpaan dengan Allah, dan tak lama lagi perjalanan Anda akan sampai.”

Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un,” tukas orang itu.
Fudhail kembali bertanya, ”Tahukah Anda, apa makna kata-kata yang Anda ucapkan tadi? Barangsiapa yang mengetahui bahwa dirinya adalah milik Allah, dan kepada-Nya pula akan kembali, maka hendaknya dia menyadari, bahwa dirinya kelak akan menghadap kepada-Nya. Dan barangsiapa menyadari dirinya akan menghadap Allah, hendaknya dia juga tahu bahwa pasti dia akan ditanya. Dimintai pertanggungjawaban atas tindakan yang telah dilakukannya. Maka barangsiapa mengetahui dirinya akan ditanya, hendaknya dia menyiapkan jawaban.”

Orang itu bertanya, ”Lalu, apa yang harus aku lakukan sekarang? Sedangkan kesempatan telah terlewat?”
Fudhail menjawab, ”Hendaknya Anda berusaha memperbagus amal di umur yang masih tersisa, sekaligus memohon ampunan kepada Allah atas kesalahan di masa lampau.”
Semoga kita mampu mengubah hidup kita, dari main-main, menjadi bukan main. Amien.

Oleh : Abu Umar Abdillah

sumber: http://indonesian.iloveallaah.com/hidup-bukan-untuk-main-main/

Meneladani Nabi saw Mewujudkan Rasa Keadilan


[Al Islam 592] Dalam suasana peringatan maulid Nabi Muhammad saw saat ini, tentu sangat layak kita merenungkan kembali keteladanan Rasulullah saw. yang paripurna baik sebagai pribadi, pemimpin keluarga maupun pemimpin negara. Juga sangat perlu kita pahami hakikat meneladani Nabi saw. dalam segala aspeknya, termasuk dalam hal kepemimpinan politik/negara, dan tidak berhenti hanya pada tataran moral/akhlak belaka.
Allah SWT di dalam surat al-Ahzab ayat 21 memerintahkan kita untuk meneladani Nabi saw secara utuh, yakni meneladani semua keteladanan yang ada pada diri Nabi, bukan hanya sepenggal seraya mengabaikan yang lainnya. Tentu untuk itu, ajakan meneladani Nabi saw itu bukan sekadar ajakan untuk mengikuti akhlak Nabi saw. secara pribadi, sembari mengabaikan sebagian besar keteladanan Beliau pada aspek syariah lainnya seperti menerapkan syariah Islam secara kâffah dalam negara. Sebab yang demikian itu adalah bentuk pengkerdilan terhadap teladan Rasulullah saw., bukan memuliakan dan mengagungkan (takrîm[an] wa ta’zhîm[an]) Baginda Rasulullah saw.
Keteladanan Nabi saw akan senantiasa relevan untuk kita adopsi guna menjawab segala tantangan dan problem masa kini yang kita hadapi, termasuk dalam hal mewujudkan rasa keadilan di tengah masyarakat yang dalam sistem saat ini terasa makin jauh. Hukum hanya tajam ke bawah yakni masyarakat kecil. Bahkan hukum tak jarang buntu untuk bisa memberikan rasa keadilan pada masyarakat. Contohnya dalam insiden Xenia maut di dekat Tugu Tani Jakarta pada Ahad (22/1). Akibat ditabrak Xenia maut itu, sembilan orang meninggal dunia dimana satu diantaranya tengah hamil tiga bulan dan tiga orang dirawat di RSPAD Gatot Subroto Jakarta Pusat. Menurut keterangan Polisi, pengemudi Xenia maut itu malam sebelum kejadian berpesta miras dan mengkonsumsi narkotika.
Awalnya, pengemudi Xenia maut itu hanya diancam hukuman 6 tahun berdasarkan pasal 310 UU No 22/2009 tentang LLAJ terkait kelalaian yang menyebabkan orang lain meninggal dunia. Ancaman itu sudah dianggap berkeadilan hukum. Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Saud Usman, Rabu (25/1) mengatakan, “Bicara keadilan, penyidik dan JPU itu tidak bisa menghindarkan dari UU dan peraturan hukum yang berlaku. Jadi hukuman yang dibuat itu tidak bisa sesuai dengan tuntutan publik, tetapi harus mengikuti koridor hukum yang berlaku” (Lihat, detiknews.com, 25/01).
Tentu saja itu dinilai tidak adil oleh publik. Publik pun mendesak agar ancaman hukumannya diperberat. Selain sebagai efek jera, praktisi hukum pidana menilai pasal pembunuhan bisa ditambahkan bagi tersangka. Namun agaknya implementasinya akan sulit.
Meneladani Nabi saw Mewujudkan Rasa Keadilan
Jika dirujuk kepada tuntunan yang dibawa oleh Nabi saw dan teladan beliau yakni dirujuk kepada syariah, maka solusi hukum kasus ini amat jelas. Solusi syariah itu akan bisa merealisasi rasa keadilan bagi semua.
Fakta kasus itu menunjukkan setidaknya ada empat kejahatan yang dilakukan pengemudi Xenia itu. Pertama, meminum miras. Kedua, mengkonsumsi narkoba. Ketiga, menewaskan 9 orang, salah seorangnya sedang hamil tiga bulan. Keempat, menyebabkan tiga orang luka-luka.
Untuk kejahatan meminum miras, terhadapnya harus diterapkan had orang yang meminum khamar. Ali bin Abi Thalib berkata:
« جَلَدَ النَّبِىُّ أَرْبَعِينَ وَجَلَدَ أَبُو بَكْرٍ أَرْبَعِينَ وَعُمَرُ ثَمَانِينَ وَكُلٌّ سُنَّةٌ »
Nabi saw menjilid (orang yang meminum khamr) 40 kali, Abu Bakar mencambuknya 40 kali dan Umar mencambuknya 80 kali, dan semua adalah sunnah (HR Muslim)
Mengingat pelaku juga melakukan kejahatan lain akibat terpengaruh miras, maka yang lebih tepat terhadapnya dijatuhkan hukuman jilid dicambuk 80 kali.
Untuk kejahatan mengkonsumsi narkoba, maka terhadapnya dijatuhkan sanksi ta’zir. Syaikh Abdurrahman al-Maliki menjelaskan barangsiapa mengkonsumsi narkotika seperti ganja, heroin, atau semisalnya, ia dikenai sanksi ta’zir berupa hukum cambuk, dipenjara maksimal 15 (lima belas) tahun penjara, dan denda (gharamah) yang besarnya ditentukan oleh qadhi (hakim). (Abdurrahman al-Maliki, Nizhâm al- ‘Uqûbât, hal. 98). Sanksi mengkonsumsi Narkoba ini juga bisa diperberat sebab diantaranya akibat pengaruh narkoba itulah terjadi kejahatan lain dalam insiden itu.
Sedangkan untuk kejahatan menewaskan 9 (sembilan) orang maka terhadapnya diterapkan jinayat pembunuhan tidak disengaja yaitu membebaskan budak mukmin dan membayar diyat kepada keluarga korban. Pembunuhan tak disengaja adalah tindakan seseorang yang tidak dimaksudkan membunuh orang lain tapi mengakibatkan terbunuhnya orang lain, seperti kecelakaan. Sanksi tersebut sesuai firman Allah SWT:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَن يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَأً ۚ وَمَن قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِ‌يرُ‌ رَ‌قَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلَىٰ أَهْلِهِ إِلَّا أَن يَصَّدَّقُوا ۚ…
Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya mukmin serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarga si terbunuh itu, kecuali jika mereka (keluarga korban) bersedekah …(QS an-Nisa’ [4]: 92)
Membebaskan budak mukmin tidak bisa dilakukan sekarang sebab budak sudah tidak ada lagi. Sehingga tinggallah yang harus dikenakan adalah wajib membayar diyat. Diyat itu bisa dibayar dengan unta 100 ekor. Dan dalam riwayat an-Nasai bisa juga dibayar emas 1.000 dinar (4.250 gram emas) atau perak 12.000 dirham (35.700 gram) untuk tiap korban. Diyat itu juga boleh dibayar dengan uang yang senilai itu (Abdurrahman al-Maliki, Nizhâm al- ‘Uqûbât, hal. 59). Itu artinya, jika diasumsikan 1 gr emas harganya Rp 500 ribu maka diyat yang harus dibayarkan untuk tiap orang korban adalah Rp 2,125 miliar. Sementara untuk janin, maka diyatnya adalah sepersepuluh dari diyat orang dewasa, yaitu 10 ekor unta atau 100 dinar (425 g) emas atau uang Rp 212,5 juta sesuai asumsi tersebut. Diyat itu diserahkan kepada ahli waris korban.
Adapun untuk kejahatan menyebabkan 3 (tiga) orang luka-luka, yang bersangkutan tidak dapat dijatuhi hukuman jinayat berupa diyat, karena tidak memenuhi syarat, yaitu adanya unsur kesengajaan. Maka solusinya adalah arbitrase yang adil (hukumah ‘adl) antara kedua pihak untuk merundingkan biaya pengobatan dan ganti rugi. (Abdurrahman al-Maliki, Nizhâm al- ‘Uqûbât, hlm.68).
Itulah tuntunan dan teladan dari Nabi saw terkait kasus tersebut. Sanksi dan solusi hukum secara syar’i itu begitu jelas sehingga tidak menyulitkan bagi aparat penegak hukum dalam menerapkannya. Solusi itu juga merealisasi rasa keadilan baik bagi korban, keluarga korban maupun bagi masyarakat. Selain semua itu solusi tersebut, juga bisa memberikan efek jera yang bisa mencegah orang lain melakukan kejahatan serupa.
Menyelamatkan Masyarakat
Diluar semua itu, harus dipahami bahwa salah satu faktor utama terjadinya kasus itu adalah konsumsi miras dan narkoba oleh pelaku. Hal itu bisa terjadi tentu karena sistem saat ini tetap mentolerir atau tidak berdaya memberantas peredaran miras dan narkoba. Fakta itu makin menegaskan, merupakan keputusan konyol jika miras dan narkoba makin dibiarkan dan peraturan yang melarang peredarannya justru diancam dicabut.
Syariah Islam bersikap sangat tegas dalam hal itu. Islam dengan tegas mengharamkan narkoba sedikit ataupun banyak. Ummu Salamah menuturkan:
« نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ عَنْ كُلِّ مُسْكِرٍ وَمُفَتِّرٍ»
Rasulullah saw melarang setiap zat yang memabukkan dan menenangkan (HR Abu Dawud dan Ahmad)
Mufattir adalah setiap zat relaksan atau zat penenang, yaitu yang kita kenal sebagai obat psikotropika. Al-‘Iraqi dan Ibn Taymiyah menukilkan adanya kesepakatan (ijmak) akan keharaman candu/ganja (lihat, Subulus Salam, iv/39, Dar Ihya’ Turats al-‘Arabi).
Syariah Islam juga sangat tegas mengharamkan dan melarang miras (QS al-Maidah :90-91), bahkan dinilai sebagai kunci semua keburukan dan harus dijauhi sejauh-jauhnya. Sabda Rasul saw.:
« اِجْتَنِبُوْا الْخَمْرَ فَإِنَّهَا مِفْتَاحُ كُلِّ شَرٍّ »
Jauhilah khamr, sesungguhnya khmar adalah kunci semua keburukan (HR. al-Hakim dan al-Baihaqi)

Islam juga tegas mengharamkan semua hal yang terkait dengan khamr (miras). Nabi saw bersabda:
«لَعَنَ اللَّهُ الْخَمْرَ وَلَعَنَ شَارِبَهَا وَسَاقِيَهَا وَعَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا وَبَائِعَهَا وَمُبْتَاعَهَا وَحَامِلَهَا وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ وَآكِلَ ثَمَنِهَ»
Allah melaknat khamr dan melaknat peminumnya, yang menuangkannya, yang memerasnya, yang minta diperaskan, yang membelinya, yang menjualnya, yang membawakannya, yang minta dibawakan, dan yang makan harganya (HR. Ahmad).
Karena itu sistem Islam akan melarang produksi miras dan narkoba, peredaran dan penjualannya. Tempat-tempat yang menjualnya baik diskotek, kafe, klub malam, warung, dsb akan dilarang dan ditutup. Orang yang melanggarnya berarti melakukan tindakan kriminal dan dia harus dikenai sanksi ta’zir. Sanksi itu bisa dijatuhkan lebih berat dari sanksi orang yang mengkonsumsinya.
Wahai Kaum Muslim
Itulah tuntutan dan teladan yang diberikan Nabi saw dalam kasus ini yang tentu harus kita ambil dan teladani. Begitu juga tuntunan dan teladan yang diberikan Nabi saw dalam semua perkara. Dengan semua itu, rasa keadilan akan terwujud dan masyarakat selamat dari ancaman keburukan. Hal itu hanya bisa diwujudkan dengan menerapkan syariah Islam dalam semua perkara secara utuh di dalam bingkai negara. Dan itulah bentuk hakiki dari meneladani Nabi Muhammad saw yang senantiasa kita peringati kelahirannya. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []

Komentar Al Islam:

Dalam dokumen Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) DPR tahun 2012, anggaran satuan kerja dewan tahun 2012 mengalami kenaikan dari Rp. 1,749 triliun menjadi Rp. 2,086 triliun (Republika, 31/1)
  1. Dewan betul-betul menjiwai untuk mewakili rakyat merasakan kenyamanan dan kemewahan. Sementara kondisi riil banyak dari rakyat dibiarkan menderita dan mengenaskan.
  2. Itulah model wakil rakyat hasil sistem kapitalisme demokrasi. Mementingkan kepentingan diri sendiri seraya mengabaikan kepentingan rakyat.
  3. Hanya dengan penerapan syariah Islam secara utuhlah, penguasa, wakil rakyat dan politisi akan benar-benar senantiasa memelihara kepentingan rakyat.
 sumber: http://hizbut-tahrir.or.id/2012/02/01/meneladani-nabi-saw-mewujudkan-rasa-keadilan/

Pembelokan Sejarah Perjuangan Umat Islam

Konspirasi dalam Piagam Jakarta
Piagam Jakarta ditandatangani para pendiri bangsa pada 22 Juni 1945. Keberadaan Piagam Jakarta dirumuskan sejak BPUPKI membentuk panitia khusus yang diamanahi membahas dasar negara Indonesia. Dalam sidang panitia khusus yang dikenal dengan nama Panitia Sembilan itu, empat orang tokoh Islam, yaitu KH Wahid Hasyim, Abdul Kahar Muzakar, Abikoesno Tjokrosoeyoso dan H. Agus Salim mengusulkan Islam sebagai dasar negara, bahkan mereka memperkuat argumentasinya dengan membawa puluhan ribu tanda tangan tokoh Islam, alim ulama dan pimpinan pondok pesantren seluruh Indonesia yang mengingin-kan negara yang akan diproklamasikan berdasarkan Islam.
Namun, tokoh-tokoh nasionalis sekular yang ada di Panitia Sembilan, seperti Soekarno, Moh. Hatta, Achmad Soebardjo, Muhammad Yamin dan perwakilan non-Muslim, yaitu A.A. Maramis, menolak tegas usulan tokoh-tokoh Islam tersebut.
Akhirnya, setelah berdebat panjang, Panitia Sembilan merekomondasikan rumusan dasar negara yang dikenal dengan nama Piagam Jakarta (Djakarta Charter) pada 22 Juni 1945. Di antara kesepakatannya adalah, “Negara berdasarkan kepada Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Dalam pidatonya pada 9 Juli 1945, Soekarno menyebut Piagam Jakarta ini sebagai gentlemen’s agreement antara kelompok nasionalis dan kelompok Islam. Bahkan A.A Maramis, tokoh nasionalis yang mewakili kepentingan non-Muslim menyatakan bahwa dia dan warga non-Muslim setuju 200% atas Piagam Jakarta karena Syariat Islam yang dilaksanakan hanya berlaku bagi penduduk Muslim.
Pada 17 Agustus 1945, para aktivis dan pejuang kemerdekaan berkumpul di Jl. Pegangsaan 65, Jakarta untuk menyaksikan proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia. Namun, ada fakta yang tidak banyak diketahui bahwa menjelang pembacaan naskah proklamasi, upacara dimulai dengan pembacaan UUD 1945 yang berisi Piagam Jakarta oleh Dr. Moewardi seperti terungkap dalam buku Sekitar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia karya Sidik Kertapati.
Fakta lainnya, saat proklamasi dibacakan, tidak ada seorang pun tokoh Kristen yang hadir dalam peristiwa bersejarah itu. Ternyata para aktivis Kristen sibuk berkonsolidasi untuk menuntut penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Kesimpulan ini didasarkan pada pernyataan Soekarno yang mengatakan bahwa malam hari usai Proklamasi, ia ditelepon mahasiswa Prapatan 10. Mereka mengatakan bahwa pada 17 Agustus siang hari pukul 12.00 WIB, tiga anggota PPKI asal Indonesia Timur—Sam Ratulangi, Latuharhary dan I Gusti Ketut Pudja—mendatangi asrama mahasiswa dan mengatakan bahwa mereka keberatan dengan isi Piagam Jakarta.
Mahasiswa lalu menghubungi Hatta, yang kemudian mengundang mereka untuk datang menemui dirinya pukul 17.00 WIB. Hadir dalam pertemuan itu aktivis Prapatan 10, Piet Mamahit dan Imam Slamet. Setelah berdialog, Hatta menyetujui usul perubahan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Sepulang dari pertemuan dengan Hatta, malam itu juga para mahasiswa menelepon Soekarno untuk menyatakan keberatan dari tokoh Kristen Indonesia Timur.
Singkat kata, keesokan harinya Soekarno dan Hatta mengadakan rapat dengan PPKI di Pejambon Jakarta. Agenda sidang dibatasi hanya membahas perubahan dalam pembukaan dan batang tubuh UUD 45. Rapat yang diagendakan berlangsung pukul 09.30 WIB mundur sampai pukul 11.30 WIB karena terjadi perdebatan sengit dalam lobi-lobi untuk menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta.
Begitu sengit dan tegangnya pertemuan itu hingga Soekarno memilih tidak terlibat dalam lobi tersebut. Ia jeri dengan kegigihan Ki Bagus dalam mempertahankan Piagam Jakarta. Di sinilah peran Kasman Singodimejo yang sesama Muhammadiyah melakukan pendekatan secara personal kepada Ki Bagus dengan bahasa Jawa kromo inggil, sebagaimana terungkap dalam memoirnya, Hidup Adalah Perjuangan. Kasman menjelaskan perubahan yang diusulkan Hatta, bahwa kata “Ketuhanan” ditambah dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa” itu adalah Allah SWT.
Kasman juga menjelaskan kepada Ki Bagus soal janji Soekarno yang mengatakan bahwa enam bulan lagi akan ada sidang MPR untuk membuat undang-undang yang sempurna. “Janji Soekarno” itulah yang setidaknya membuat Ki Bagus merasa masih ada harapan untuk memasukan Islam dalam undang-undang yang lengkap dan tetap.
Akhirnya, dalam hitungan kurang dari 15 menit, seperti diceritakan Hatta dalam bukunya, Sekitar Proklamasi, tujuh kata dalam Piagam Jakarta dihapuskan. Menyikapi penghapusan ini, Ketua Umum Masyumi, Prawoto Mangkusasmito dengan sedih mengatakan, “Piagam Jakarta yang didapat dengan susah payah, memeras otak dan tenaga berhari-hari oleh tokoh-tokoh terkemuka, pada rapat PPKI 18 Agustus 1945 dalam beberapa menit saja dapat diubah. Kekuatan apakah yang mendorong dari belakang hingga perubahan itu terjadi?”
Selain Prawoto, tokoh Masyumi lainnya seperti Mohammad Natsir mengatakan, peristiwa 18 Agustus 1945 adalah peristiwa sejarah yang tak dapat dilupakan. “Menyambut Proklamasi 17 Agustus kita bertahmid. Menyambut hari besoknya, tanggal 18 Agustus, kita beristighfar. Insya Allah umat Islam tidak akan lupa.” kata Natsir.
Dalam buku Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945: Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menyelidik Oesaha2 Persiapan Kemerdekaan (Jakarta: Badan Penerbit PH-UI, 2004) R.M.A.B Kusuma mengatakan, “Hatta adalah orang yang paling bertanggung jawab atas terhapuskannya tujuh kata dari Piagam Jakarta. Ia menghapusnya tanpa berunding dengan tokoh-tokoh Islam yang menyusun Piagam Jakarta.”
Hatta sendiri menceritakan kronologis peristiwa penghapusan tujuh kata tersebut dalam bukunya Sekitar Proklamasi bahwa pada 17 Agustus 1945 sore, Hatta menerima telepon dari Nishijima, pembantu Admiral Maeda yang memintanya untuk menerima seorang Opsir Kaigun. Hatta mengatakan bahwa Opsir Kaigun yang ia lupa namanya itu memberitahu bahwa wakil Nasrani berkeberatan dengan kalimat pembukaan UUD yang berbunyi: kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Jika kalimat itu ditetapkan, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia.
Menurut Ridwan Saidi, seperti dikutip dalam Mahasiswa ’45 Prapatan 10 karya Dr. Sujono Martosewojo dkk, anggapan bahwa ada Opsir Kaigun yang menemui Hatta kemungkinan adalah Iman Slamet, mahasiswa kedokteran yang memang berpostur tegap, berambut pendek, sipit dan suka berpakaian putih-putih. Iman Slamet inilah yang dikira sebagai opsir Jepang oleh Hatta.1
Oleh karena itu, keterangan Hatta soal adanya pertemuan dengan Opsir Kaigun yang ia lupa namanya itu sangat meragukan hingga Ridwan Saidi dalam sebuah diskusi tentang Piagam Jakarta, mengatakan, “Dengan segala hormat saya kepada Bung Hatta, ia seorang yang bersahaja, tapi dalam kasus Piagam Jakarta, saya harus mengatakan bahwa ia berdusta.”
Pernyataan Ridwan Saidi ini dikuatkan dalam buku dari Cornell University AS, bahwa dalang di balik sosok misterius Opsir Kaigun itu adalah Sam Ratulangi yang dia sebut sebagai an astute Christian politician from Manado, North Sulawesi (Seorang politisi Kristen yang licik dari Sulawesi Utara).

Janji Palsu Soekarno kepada Daud Beureu’eh
Pengkhianatan berikutnya kembali harus dialami umat Islam negeri ini, khususnya apa yang dialami oleh para ulama yang tergabung dalam Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) di Tanah Rencong. Mereka, melalui ketuanya, Teungku Muhammad Daud Beureu’eh, meminta kepada Presiden Soekarno untuk mendapatkan kebebasan dalam menjalankan syariah Islam di wilayahnya.
Soekarno sendiri mengakui dalam pidatonya di Blang Padang Aceh, bahwa Aceh adalah daerah modal bagi kemerdekaan Indonesia. Melalui perjuangan rakyat Aceh seluruh wilayah Indonesia dapat direbut kembali dari tangan penjajah.
Para ulama dan rakyat Aceh telah berjuang mengorbankan harta dan jiwa demi kemerdekaan bangsa ini. Perjuangan dan pengorbanan itu, mereka buktikan dengan mengumpulkan dana demi membeli pesawat Seulawah untuk kepentingan perjuangan melawan penjajah. Seulawah yang jadi cikal-bakal Garuda Indonesia Airways ini tidak hanya menjadi instrumen penting bagi kemerdekaan bangsa Indonesia, namun juga menjadi modal utama dalam mempertahankan kemerdekaan itu.
Melalui Seulawah, Indonesia mampu menembus blokade udara pasukan penjajah. Pesawat ini pula yang membawa tokoh-tokoh Indonesia ke luar negeri untuk memperkenalkan bayi Indonesia yang baru lahir ke dunia internasional.
Seulawah yang bernilai US$ 120.000 berdasarkan kurs mata uang saat itu ternyata bukan satu-satunya kontribusi Aceh bagi kemerdekaan bangsa ini. Saat Jogjakarta kembali ke pangkuan Indonesia, para ulama dan rakyat Aceh kembali mengalirkan bantuan dana, alat perkantoran dan obat-obatan. Tercatat, sebanyak lima kilogram emas disumbangkan rakyat Aceh demi keberlangsungan pemerin-tahan Indonesia. Mereka juga menyumbangkan uang tunai sebesar US$ 500.000, di antaranya US$ 250.000 untuk membiayai angkatan perang, US$ 50.000 untuk biaya perkantoran pemerintah, US$ 100.000 untuk pengembalian pemerintahan dari Jogjakarta dan US$ 100,000 untuk pemerintahan pusat. Bahkan rakyat Aceh kembali membantu membiayai perwakilan Indonesia di Singapura dan pendirian kedutaan pemerintah di India.
Namun, apa yang didapat oleh para ulama dan rakyat Aceh, khususnya Teungku Muhammad Daud Beureu’eh atas semua yang telah mereka korbankan itu? Sungguh, pada 16 Juni 1948, Soekarno pernah berjanji, bahkan bersumpah atas nama Allah SWT dengan berlinang air mata, bahwa ia akan memberikan kebebasan kepada para ulama dan rakyat Aceh untuk menyusun rumah tangganya sendiri berdasarkan syariah Islam.
Kenyataannya, Soekarno tidak pernah menepati janjinya, bahkan sumpahnya sendiri. Ia tidak pernah memberikan kebebasan kepada para ulama dan rakyat Aceh untuk mengatur rumah tangganya sendiri berdasarkan Islam dan kebebasan menjalankan syariah Islam di Tanah Rencong. Para ulama dan rakyat Aceh yang diwakili Teungku Muhammad Daud Beureu’eh telah dikhianati oleh pemerintah pusat. Bahkan mereka dicap sebagai pembe-rontak. Padahal sesungguhnya mereka menuntut haknya sekaligus menagih janji atas penerapan syariah Islam yang telah dilecehkan.

Orde Baru: Petaka Umat Islam
Pada masa rezim Orde Baru, atas nama pemulihan keamanan dan ketertiban maka Pancasila dipaksakan sebagai asas tunggal bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Semua organisasi, baik organisasi massa maupun politik, Islam maupun bukan, semuanya diharuskan berasaskan atau berdasarkan Pancasila. Semua lawan politik bagi kekuasaan dan pemerintahan dibungkam dengan kekuatan yang memaksa.
Berikutnya, ketika kaum Muslim memiliki kesadaran untuk menghidupkan syariah Islam maka rezim Orde Baru membungkamnya dengan kekuatan militer. Tidak hanya itu, bahkan untuk sekadar mengenakan penutup aurat bagi wanita Mukminah seperti kerudung pun dilarang. Tidak hanya di instansi pemerintahan, larangan ini sampai masuk ke ruang-ruang kelas di sekolah-sekolah. Arus sekularisme meluas dalam semua sendi kehidupan.
Bahkan tokoh-tokoh Muslim yang vokal dan kritis atas semua kebijakan rezim Orde Baru ini diteror dengan intimidasi dan kekerasan. Meminjam istilah budayawan Permadi, mereka segera di-3B-kan; Bungkam, Bui dan Bunuh. Fakta berdarah peristiwa Pembantaian Tanjung Priok, Haur Koneng dan Talangsari di Lampung adalah tiga di antara kezaliman rezim Orba terhadap umat Islam.
Kelahiran Rezim Orde Baru sejak 1967 ini tidak lepas dari skenario orang-orang kafir Barat untuk menguasai Indonesia. Sejak rezim ini berkuasa, cengkeraman Globo Capitalism atas bangsa Muslim terbesar di dunia ini tampak nyata dari hasil Indonesian Investment Conference untuk mengeksploitasi kekayaan Indonesia oleh para kapitalis asing. Konferensi ini dihadiri oleh perusahaan-perusahaan besar dunia, para kapitalis dan bankir Yahudi, seperti David Rockefeller. Dari sini pula, istilah Mafia Barkeley yang memandu arah kebijakan ekonomi dan pemerintahan Indonesia mulai mengemuka.
Sejak 1967 pula, globalisasi ekonomi Indonesia mulai dijalankan. Atas nama pemulihan ekonomi nasional, rezim yang berkuasa mengikat janji dengan para kapitalis asing untuk mengeksploitasi kekayaan alam negeri ini. Demi melicinkan jalan penguasaan mereka atas Indonesia, mereka pun membentuk Inter Government Group on Indonesia (IGGI) yang ironisnya diketuai oleh bekas negara penjajah Indonesia sendiri: Belanda!
Oleh karena itu, rezim yang berkuasa pun tunduk pada kepentingan asing yang bermain untuk mencengkram Indonesia dengan Globo Capitalism dan mustahil memedulikan aspirasi rakyat yang mayoritas umat Islam.

Orde Reformasi: Keluar dari Mulut Buaya, Masuk Mulut Harimau
Euforia Reformasi yang didengungkan sejak awal kejatuhan Orde Baru ternyata berdampak luas di tengah masyarakat Indonesia. Tidak hanya arus kebebasan, HAM dan demokratisasi pada semua sendi kehidupan. Dampak arus Liberalisme ini menyinggung pula tatanan kehidupan umat beragama, khususnya umat Muslim.
Atas nama HAM dan kebebasan berkeyakinan, ide-ide, pemahaman dan keyakinan keimanan umat Islam diracuni dengan pemahaman ide-ide Sepilis (Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme). Kaum Muslim Indonesia pun direcoki dengan keberadaan sekte-sekte sesat dan menyesatkan seperti Ahmadiyah.
Selain itu, negeri Muslim terbesar ini pun tiba-tiba sibuk dengan kampanye Global War on Terrorism yang diusung AS sejak pemerintahan George W. Bush. Pemerintah pun manut saja mengikuti skenario AS dengan menjadikan Islam dan umatnya sebagai sasaran tembak perang melawan teroris. Bahkan untuk mendefinisikan teror, terorisme dan siapa teroris, pemerintah mengikuti kebijakan politik luar negeri negara adidaya itu, yang dikenal dengan Doktrin Wolfowitz. Doktrin ini adalah modifikasi Protocols of Zion yang dirancang oleh Paul Abraham Wolfowitz, mantan duta besar AS untuk Indonesia pada masa pemerintahan Habibie dan Gus Dur.
Melalui doktrin ini pula, umat Islam yang berpegang teguh dengan syariah Islam dan yang berusaha memperjuangkan penegakkan syariah Islam di negeri ini secara otomatis menjadi lawan bagi kepentingan Amerika dan layak dilabeli sebagai teroris. Rezim yang berkuasa pun lebih nyaman melayani kepentingan asing daripada mengurusi rakyatnya sendiri.
Sungguh tepat apabila pepatah mengatakan bahwa gambaran umat Muslim Indonesia saat ini: keluar dari mulut buaya masuk ke dalam mulut harimau.
WalLahu a’lam bi ash-shawwab. []

Salman Iskandar
adalah Editor dan Penulis Buku, Pembina Asosiasi Penulis Ideologis (API) Islam.

Catatan kaki
1 Hal ini pula yang dinyatakan oleh Prof. Dr. Deliar Noer dalam otobiografinya, Aku Bagian Umat Aku Bagian Bangsa (Mizan, 2000),
Maraji’
1 Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, Bandung: Salamadani Pustaka Semesta, 2009.
2 Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah, Bandung: Mizan, 1998.
3 Anwar Hardjono, dkk., Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.
4 Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar negara Republik Indonesia (1945-1949), Jakarta: Gema Insani Press, 1997
5 Hartono Ahmad Jaiz, Di Bawah Bayang-Bayang Soekarno-Soeharto, Jakarta: Darul Falah, 1999.
6 Kasman Singodimedjo, Hidup Itu Berjuang, Jakarta: Bulan Bintang, 1982.
7 Mohammad Hatta, Sekitar Proklamasi. Jakarta: Tinta Mas, 1982.
8 Mohammad Natsir, Agama dan negara dalam Perspektif Islam, Jakarta: Media Dakwah, 2001
9 Ridwan Saidi, Status “Piagam Jakarta” Tinjauan Hukum dan Sejarah,” Jakarta: 2007. (Makalah disampaikan dalam pertemuan tokoh Islam di Jakarta, 22 Mei 2007).
10 R.M.A.B Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945: Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menyelidik Oesaha2 Persiapan Kemerdekaan, Jakarta: Badan Penerbit PH-UI, 2004
11 Salman Iskandar, 55 Tokoh Muslim Indonesia Paling Berpengaruh, Solo: Tinta Medina imprint of Tiga Serangkai, 2011, cet. ke-1.
12 Sidik Kertapati, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, Jakarta: Jajasan Djambatan, 1964, cet. ke-3.

Sumber: Pembelokan Sejarah Perjuangan Umat Islam

Salah Kaprah Kesetaraan Jender

Upaya menghancurkan umat Islam tidak kenal lelah dilakukan oleh musuh-musuh Islam, dengan senjata utamanya liberalisme (kebebasan), baik di bidang politik, ekonomi, pendidikan maupun sosial.
Di bidang sosial, kemunculan RUU Kesetaraaan dan Keadilan Gender (KKG) tidak bisa dilepaskan dari upaya Barat untuk menghancurkan umat ini secara total dengan senjata liberalismenya tersebut. Padahal Barat yang sudah mempraktikkan ide-ide jender ini terbukti gagal. Ide-ide jender ini alih-alih memperbaiki sistem sosial masyarakat, malah menghancurkan. Harapan memperbaiki nasib wanita pun tak kunjung terwujud. Justru wanitalah yang menjadi korban utama dari ide liberal kesetaraan jender ini.
Kesalahan utama mereka adalah dalam memandang apa yang menjadi penyebab berbagai persoalan yang menimpa wanita seperti penindasan terhadap wanita, kekerasaan di rumah tangga, upah buruh wanita yang murah, pelecehan seksual, dll. Kelompok feminis melihat semua persoalan perempuan muncul akibat dari paradigma patriarki, ketidaksetaraan jender, dan dominasi laki-laki.
Padahal apa yang terjadi bukanlah problem yang merupakan khas perempuan dan tidak ada kaitannya sama sekali dengan pandangan jender. Kemiskinan bukan hanya menimpa perempuan, tetapi juga laki-laki. Kekerasan bukan hanya dialami perempuan, namun juga laki-laki. Upah buruh murah juga terjadi pada laki-laki. Persoalan ini bukanlah persoalan jenis kelamin, tetapi persoalan ‘kemanusiaan’ yang menimpa laki-laki maupun perempuan. Persoalan di atas muncul sebagai bentuk kegagalan sistem Kapitalisme menyelesaikan persoalan manusia.
Karena itu, yang kita butuhkan bukanlah paradigma kesetaraan atau keadilan jender, namun sistem yang adil yang mampu menyelesaikan persoalan-persoalan manusia tanpa memandang apakah dia laki-laki atau perempuan. Di sinilah relevansi mengapa kita membutuhkan syariah Islam secara menyeluruh. Sebabnya, syariah Islam adalah sistem kehidupan untuk menyelesaikan persoalan manusia, laki-laki dan perempuan.
Berkaitan dengan kesejahteraan, Islam mewajibkan negara bertanggung jawab menjamin kebutuhan pokok tiap individu rakyat, pendidikan gratis dan kesehatan gratis, baik laki-laki ataupun perempuan. Siapapun yang melakukan kejahatan (jarimah) akan ditindak tanpa memandang jenis kelaminnya, baik di ranah domestik ataupun di luar rumah.
Karena itu, dalam ideologi Islam tidak akan muncul masalah kesetaraan jender. Sebab, laki-laki dan wanita sama-sama hamba Allah. Mereka sama-sama diperintahkan hanya menyembah Allah SWT dan terikat dengan aturan-aturan Allah SWT. Saat menjalankan syariah Islam ini, apapun jenisnya, siapapun dia, baik laki-laki ataupun perempuan, akan mendapat pahala dari Allah SWT. Seruan ketaatan kepada Allah SWT berlaku sama (Lihat, antara lain: QS al-A’raf [7]: 158; (Ali ‘Imran [3]: 195).
Dalam masalah keterikatan dengan syariah Islam ini, ada yang hukumnya yang sama untuk laki-laki maupun perempuan, ada yang khusus untuk perempuan, dan ada yang khusus untuk laki-laki. Kewajiban shalat, misalnya, berlaku sama baik untuk laki-laki maupun perempuan. Kewajiban menuntut ilmu, kewajiban mengoreksi penguasa zalim, kewajiban untuk berdakwah, dll semuanya berlaku sama baik untuk laki-laki maupun perempuan. Namun, hukum yang berkaitan dengan haid, nifas, jelas khusus untuk wanita. Terdapat juga beberapa hukum yang khusus untuk laki-laki, semisal kewajiban shalat Jumat. Siapapun yang menja-lankan hukum Allah ini akan mendapat pahala.
Laki-laki memiliki tanggung jawab sebagai pemimpin dalam rumah tangga (qawwam), sementara posisi wanita sebagai ummu wa rabbah al-bayt (ibu dan pengatur rumah tangga). Meskipun berbagi tugas, semuanya mendapat pahala dari Allah SWT, karena sama-sama menjalankan perintah Allah SWT. Perbedaan fungsi ini tidak menunjukkan bahwa laki-laki lebih baik dari wanita atau sebaliknya.
Kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga sesungguhnya adalah tanggung jawab, jadi bukan legitimasi penindasan terhadap wanita. Sebagai pemimpin. Laki-laki (suami) wajib mencari nafkah, melindungi keluarganya dan mendidik keluarganya. Sebaliknya, kalau ada pelanggaran hukum syariah oleh suami, seperti menyiksa istri, atau menelantarkan istri, misalnya, tetap merupakan kejahatan (jarimah) yang wajib dihentikan dan pelakunya wajib diberi sanksi hukum.
Pelanggaran kehormatan, kekerasan domestik dan penganiayaan terhadap istri adalah perkara-perkara yang dilarang oleh Islam. Tujuan pernikahan adalah untuk mencapai kedamaian melalui hubungan kemitraan antara suami dan istri.
Dalam hal lain, menuntut ilmu, misalnya, adalah kewajiban bagi setiap orang, lelaki maupun perempuan. Bahkan sangat penting bagi perempuan Muslimah untuk memiliki pendidikan islami setinggi mungkin, karena merekalah yang nantinya akan menjadi sumber pengetahuan pertama bagi anak-anaknya.
Negara Khilafah berkewajiban menyediakan layanan pendidikan dan kesehatan terbaik bagi warganegaranya. Dengan begitu, diperlukan banyak sekali perempuan yang berprofesi sebagai dokter, perawat dan guru untuk menjalankan peran dan tugas itu.
Wanita pun berhak untuk memiliki sesuatu dan mengembangkan harta dengan cara berdagang, industri, atau pertanian. Wanita memiliki hak untuk menduduki salah satu jabatan dalam negara seperti urusan pendidikan, pengadilan, dan kedokteran. Umar bin Khatab pernah meminta Asy-Syifa binti Abdullah al-Makhzumiyah, seorang wanita dari kaumnya, sebagai seorang qadhi di sebuah pasar di Madinah. Para wanita pada masa Rasul saw. ikut berperan serta dalam banyak peperangan untuk melakukan pengobatan kepada orang-orang yang terluka dan mengatur urusan-urusan mereka (yang terluka).
Wanita juga memiliki hak untuk menjadi salah satu anggota majelis umat. Alasannya, Rasul saw. pun saat menghadapi suatu musi-bah, beliau memanggil umat Islam ke masjid baik laki-laki maupun wanita, dan beliau men-dengarkan pendapat mereka semuanya. Rasul saw. juga bermusyawarah dengan istrinya, Ummu Salamah, dalam Perjanjian Hudaibiyah.
Walhasil, tudingan tentang perlakukan buruk Islam terhadap wanita adalah keliru dan sering merupakan propaganda belaka. [Farid Wadjdi]

sumber: http://hizbut-tahrir.or.id/2012/05/01/salah-kaprah-kesetaraan-jender/

Kamis, 17 Mei 2012

Disunnahkan Mengeraskan Suara Adzan, Bukan Dengan Sayup-sayup

Al-Hamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.
Ciri akhir zaman, di antaranya, diangkatnya ilmu. Maknanya bukan dicabut secara langsung dari dada manusia. Namun dengan diwafatkan ulama. Jika sudah tidak ada ulama yang sesungguhnya, maka manusia mengangkat orang yang jahil sebagai pemimpin dalam beragama. Mereka meminta fatwa kepadanya. Akibatnya, pemimpin yang jahil tersebut sesat -karena kejahilannya- dan menyesatkan manusia secara umum dengan fatwanya.
Demikianlah realita yang terjadi di masyarakat. Saat kepemimpinan suatu negeri dipegang orang yang jahil terhadap agama, maka ia diundang dan didaulat memberikan arahan. Lebih parah lagi yang meminta arahan adalah orang-orang yang dipercaya umat dalam urusan agama. Bahkan dikaitkan dengan tempat mulia umat Islam, yakni masjid. Sehingga arahan yang diberikan tentunya jauh dari kebenaran yang sesungguhnya karena ia orang yang benar-benar tidak menguasai urusan agama.
Disunnahkan Mengeraskan Suara Azan
Adzan adalah ibadah dan termasuk syi'ar Islam yang masyhur dan teragung. Amalan ini terus dilaksanakan semenjak disyariatkannya sampai wafatnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Baik ketika malam maupun siang. Baik ketika bepergian maupaun bermukim. Tidak pernah terdengar bahwa beliau pernah meninggalkannya atau memberikan dispensasi untuk tidak mengerjakannya.
Disunnahkan mengeraskan suara adzan sehingga sampai ketelinga manusia yang belum hadir di masjid. Baik dengan meninggikan suara atau dengan menggunakan pengeras. Agar maksud adzan yang sebagai panggilan shalat tercapai. Inilah madhab Syafi'i, Hambali, dan satu pendapat dari Hanafi. (Lihat: Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik Kamal: I/378)
Diriwayatkan dari Abu Sa'id al-Khudri Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata kepada Ibnu Abi Sha'sha'ah, "Aku lihat kamu sangat suka dengan kambing dan gurun. Jika kamu sedang mengembalakan kambingmu atau sedang berada di gurun, maka kumandangkanlah adzan dengan suara yang keras. Sebab tidaklah jin, manusia atau benda lainnya mendengarkan suara muadzin, kecuali mereka akan memberikan persaksiannya pada hari kiamat." Abu Said berkata, "Aku mendengarnya dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam." (HR. Al-Bukhari  3053 dan al-Nasa'i 640)
Imam Abu Dawud dalam Sunannya menuliskan: "Bab Meninggikan (mengeraskan) suara saat adzan". Lalu beliau menyebutkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, beliau bersabda:

الْمُؤَذِّنُ يُغْفَرُ لَهُ مَدَى صَوْتِهِ وَيَشْهَدُ لَهُ كُلُّ رَطْبٍ وَيَابِسٍ وَشَاهِدُ الصَّلاَةِ يُكْتَبُ لَهُ خَمْسٌ وَعِشْرُونَ صَلاَةً وَيُكَفَّرُ عَنْهُ مَا بَيْنَهُمَا

"Muadzin (orang yang mengumandangkan adzan) diberi ampunan untuknya sejauh suaranya dan akan disaksikan oleh semua benda yang basah dan yang kering. Satu orang yang mendatangi shalat maka dicatat untuknya dua puluh lima shalat dan diberi ampunan untuknya antara dua shalat." (Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih al-Jami', no. 7744 dan Shahih wa Dhaif Sunan Abi Dawud, no. 515)
Maksud "Muadzin (orang yang mengumandangkan adzan) diberi ampunan untuknya sejauh suaranya” adalah muadzin diberi ampunan dengan sempurna dengan jauhnya suara itu sampai. Makna lainnya, ini sebagai perumpamaan. Jika dosanya banyak dan mencapai sejauh suaranya itu, maka diberi ampunan untuknya dengan sebab itu. Ringkasnya, kerasnya suara akan terdengar oleh manusia. Setiap orang yang mendengar suara adzan lalu terpanggil oleh suara dan panggilan tersebut, maka muadzin tadi diberi ganjaran dan pahala serta diampuni dosanya dengan sebab itu.
Maksud dari "dan akan disaksikan oleh semua benda yang basah dan yang kering", setiap benda basah dan kering yang suara adzan sampai kepadanya akan menjadi saksi untuk muadzin pada hari kiamat.
Maksud "Satu orang yang mendatangi shalat maka dicatat untuknya dua puluh lima shalat dan diberi ampunan untuknya antara dua shalat," yakni: orang yang hadir shalat karena menyambut seruan ini maka muadzin diberi pahala besar. Baginya pahala 25 shalat dan ampunan antara dua shalat berikutnya dengan sebab shalat yang dikerjakan tadi.
Sama-sama dimaklumi, muadzin adalah orang yang menghadiri shalat berjamaah, hadir di masjid, dan mendapatkan pahala shalat berjama'ah. Di tambah lagi dengan ampunan yang diperolehnya di antara dua shalat. Maka apa yang diperoleh oleh orang yang menyambut seruannya, maka ia pun mendapatkannya. Tapi ia mendapat tambahan karena menjadi sebab datangnya mereka ke masjid.
Kesimpulan
Mengeraskan adzan menjadi tuntutan. Karena tujuannya menyampaikan suara nida' (panggilan) kepada manusia. Dan ini bisa terwujud dengan benar-benar mengeraskan suara sampai diyakini telah sampai kepada telinga umat. Jika dilantunkan secara pelan dan mendayu-dayu tentu tujuan ini tidak terwujud. Terlebih para ulama menyebutkan, adzan dengan sayup-sayup dan mendayu-dayu termasuk dari kesalahan dalam adzan.
Syaikh Abu Malik Kamal dalam Shahih Fiqih Sunnah menyebutkan beberapa kesalahan dan amal bid'ah dalam azan. Pada urutan pertama disebutkan, "Melagukan dan meliuk-liukan suara secara berlebihan dalam adzan." (Shahih Fiqih Sunnah: I/392)
Semoga tulisan ini menjadi sarana meluruskan wacana untuk menghilangkan azan oleh orang awam (dalam agama), -bukan ulama namun berbicara tentang syariat ibadah- tentang anjuran agar adzan tidak terlalu keras, sebaliknya adzan lebih baik dikumandangkan dengan sayup-sayup. Wallahu Ta'ala A'lam.
Penulis : Badrul Tamam

sumber: http://indonesian.iloveallaah.com/disunnahkan-mengeraskan-suara-adzan-bukan-dengan-sayup-sayup/

Hukum Mengucapkan Selamat Natal

Alhamdulillahi robbil ‘alamin, wa shalaatu wa salaamu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Sudah sering kita mendengar ucapan semacam ini menjelang perayaan Natal yang dilaksanakan oleh orang Nashrani. Mengenai dibolehkannya mengucapkan selamat natal ataukah tidak kepada orang Nashrani, sebagian kaum muslimin masih kabur mengenai hal ini. Sebagian di antara mereka dikaburkan oleh pemikiran sebagian orang yang dikatakan pintar (baca : cendekiawan), sehingga mereka menganggap bahwa mengucapkan selamat natal kepada orang Nashrani tidaklah mengapa (alias ‘boleh-boleh saja’). Bahkan sebagian orang pintar tadi mengatakan bahwa hal ini diperintahkan atau dianjurkan.

Namun untuk mengetahui manakah yang benar, tentu saja kita harus merujuk pada Al Qur’an dan As Sunnah, juga pada ulama yang mumpuni, yang betul-betul memahami agama ini. Ajaran islam ini janganlah kita ambil dari sembarang orang, walaupun mungkin orang-orang yang diambil ilmunya tersebut dikatakan sebagai cendekiawan. Namun sayang seribu sayang, sumber orang-orang semacam ini kebanyakan merujuk pada perkataan orientalis barat yang ingin menghancurkan agama ini. Mereka berusaha mengutak-atik dalil atau perkataan para ulama yang sesuai dengan hawa nafsunya. Mereka bukan karena ingin mencari kebenaran dari Allah dan Rasul-Nya, namun sekedar mengikuti hawa nafsu. Jika sesuai dengan pikiran mereka yang sudah terkotori dengan paham orientalis, barulah mereka ambil. Namun jika tidak bersesuaian dengan hawa nafsu mereka,  mereka akan tolak mentah-mentah. Ya Allah, tunjukilah kami kepada kebenaran dari berbagai jalan yang diperselisihkan –dengan izin-Mu-

Semoga dengan berbagai fatwa dari ulama yang mumpuni ini, kita mendapat titik terang mengenai permasalahan ini.

:: Fatwa Pertama ::
Mengucapkan Selamat Natal dan Merayakan Natal Bersama
Berikut adalah fatwa ulama besar Saudi Arabia, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin rahimahullah, dari kumpulan risalah (tulisan) dan fatwa beliau (Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibnu ‘Utsaimin), 3/28-29, no. 404.

Beliau rahimahullah pernah ditanya,
“Apa hukum mengucapkan selamat natal (Merry Christmas) pada orang kafir (Nashrani) dan bagaimana membalas ucapan mereka? Bolehkah kami menghadiri acara perayaan mereka (perayaan Natal)? Apakah seseorang berdosa jika dia melakukan hal-hal yang dimaksudkan tadi, tanpa maksud apa-apa? Orang tersebut melakukannya karena ingin bersikap ramah, karena malu, karena kondisi tertekan, atau karena berbagai alasan lainnya. Bolehkah kita tasyabbuh (menyerupai) mereka dalam perayaan ini?”

Beliau rahimahullah menjawab :
Memberi ucapan Selamat Natal atau mengucapkan selamat dalam hari raya mereka (dalam agama) yang lainnya pada orang kafir adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan kesepakatan para ulama (baca : ijma’ kaum muslimin), sebagaimana hal ini dikemukakan oleh Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam kitabnya ‘Ahkamu Ahlidz Dzimmah’. Beliau rahimahullah mengatakan,
“Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin. Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya.” Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya.

Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut. Orang-orang semacam ini tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia pantas mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.” –Demikian perkataan Ibnul Qoyyim rahimahullah-

Dari penjelasan di atas, maka dapat kita tangkap bahwa mengucapkan selamat pada hari raya orang kafir adalah sesuatu yang diharamkan. Alasannya, ketika mengucapkan seperti ini berarti seseorang itu setuju dan ridho dengan syiar kekufuran yang mereka perbuat. Meskipun mungkin seseorang tidak ridho dengan kekufuran itu sendiri, namun tetap tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk ridho terhadap syiar kekufuran atau memberi ucapan selamat pada syiar kekafiran lainnya karena Allah Ta’ala sendiri tidaklah meridhoi hal tersebut. Allah Ta’ala berfirman,

إِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ

Jika kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu.” (QS. Az Zumar [39] : 7)
Allah Ta’ala juga berfirman,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al Maidah [5] : 3)
[Apakah Perlu Membalas Ucapan Selamat Natal?]

Memberi ucapan selamat semacam ini pada mereka adalah sesuatu yang diharamkan, baik mereka adalah rekan bisnis ataukah tidak. Jika mereka mengucapkan selamat hari raya mereka pada kita, maka tidak perlu kita jawab karena itu bukanlah hari raya kita dan hari raya mereka sama sekali tidak diridhoi oleh Allah Ta’ala. Hari raya tersebut boleh jadi hari raya yang dibuat-buat oleh mereka (baca : bid’ah). Atau mungkin juga hari raya tersebut disyariatkan, namun setelah Islam datang, ajaran mereka dihapus dengan ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ajaran Islam ini adalah ajaran untuk seluruh makhluk.

Mengenai agama Islam yang mulia ini, Allah Ta’ala sendiri berfirman,

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imron [3] : 85)
[Bagaimana Jika Menghadiri Perayaan Natal?]
Adapun seorang muslim memenuhi undangan perayaan hari raya mereka, maka ini diharamkan. Karena perbuatan semacam ini tentu saja lebih parah daripada cuma sekedar memberi ucapan selamat terhadap hari raya mereka. Menghadiri perayaan mereka juga bisa jadi menunjukkan bahwa kita ikut berserikat dalam mengadakan perayaan tersebut.

[Bagaimana Hukum Menyerupai Orang Nashrani dalam Merayakan Natal?]
Begitu pula diharamkan bagi kaum muslimin menyerupai orang kafir dengan mengadakan pesta natal, atau saling tukar kado (hadiah), atau membagi-bagikan permen atau makanan (yang disimbolkan dengan ‘santa clause’ yang berseragam merah-putih, lalu membagi-bagikan hadiah, pen) atau sengaja meliburkan kerja (karena bertepatan dengan hari natal). Alasannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka” (HR. Ahmad 4868 dan Abu Dawud 3512. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Iqtidho’ Ash Shirothil Mustaqim mengatakan,
“Menyerupai orang kafir dalam sebagian hari raya mereka bisa menyebabkan hati mereka merasa senang atas kebatilan yang mereka lakukan. Bisa jadi hal itu akan mendatangkan keuntungan pada mereka karena ini berarti memberi kesempatan pada mereka untuk menghinakan kaum muslimin.” -Demikian perkataan Syaikhul Islam-

Barangsiapa yang melakukan sebagian dari hal ini maka dia berdosa, baik dia melakukannya karena alasan ingin ramah dengan mereka, atau supaya ingin mengikat persahabatan, atau karena malu atau sebab lainnya. Perbuatan seperti ini termasuk cari muka (menjilat), namun agama Allah yang jadi korban. Ini juga akan menyebabkan hati orang kafir semakin kuat dan mereka akan semakin bangga dengan agama mereka.
Allah-lah tempat kita meminta. Semoga Allah memuliakan kaum muslimin dengan agama mereka. Semoga Allah memberikan keistiqomahan pada kita dalam agama ini. Semoga Allah menolong kaum muslimin atas musuh-musuh mereka. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Kuat lagi Maha Mulia.

:: Fatwa Kedua ::
Berkunjung Ke Tempat Orang Nashrani untuk Mengucapkan Selamat Natal pada Mereka
Masih dari fatwa Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin rahimahullah dari Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibnu ‘Utsaimin, 3/29-30, no. 405.

Syaikh rahimahullah ditanya : Apakah diperbolehkan pergi ke tempat pastur (pendeta), lalu kita mengucapkan selamat hari raya dengan tujuan untuk menjaga hubungan atau melakukan kunjungan?
Beliau rahimahullah menjawab :
Tidak diperbolehkan seorang muslim pergi ke tempat seorang pun dari orang-orang kafir, lalu kedatangannya ke sana ingin mengucapkan selamat hari raya, walaupun itu dilakukan dengan tujuan agar terjalin hubungan atau sekedar memberi selamat (salam) padanya. Karena terdapat hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لاَ تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلاَ النَّصَارَى بِالسَّلاَمِ

“Janganlah kalian mendahului Yahudi dan Nashara dalam salam (ucapan selamat).” (HR. Muslim no. 2167)

Adapun dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkunjung ke tempat orang Yahudi yang sedang sakit ketika itu, ini dilakukan karena dulu ketika kecil, Yahudi tersebut pernah menjadi pembantu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala Yahudi tersebut sakit, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjenguknya dengan maksud untuk menawarkannya masuk Islam. Akhirnya, Yahudi tersebut pun masuk Islam.
Bagaimana mungkin perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengunjungi seorang Yahudi untuk mengajaknya masuk Islam, kita samakan dengan orang yang bertandang ke non muslim untuk menyampaikan selamat hari raya untuk menjaga hubungan?! Tidaklah mungkin kita kiaskan seperti ini kecuali hal ini dilakukan oleh orang yang jahil dan pengikut hawa nafsu.

:: Fatwa Ketiga ::
Merayakan Natal Bersama
Fatwa berikut adalah fatwa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (Komisi Tetap Urusan Riset dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi)  no. 8848.

Pertanyaan : Apakah seorang muslim diperbolehkan bekerjasama dengan orang-orang Nashrani dalam perayaan Natal yang biasa dilaksanakan pada akhir bulan Desember? Di sekitar kami ada sebagian orang yang menyandarkan pada orang-orang yang dianggap berilmu bahwa mereka duduk di majelis orang Nashrani dalam perayaan mereka. Mereka mengatakan bahwa hal ini boleh-boleh saja. Apakah perkataan mereka semacam ini benar? Apakah ada dalil syar’i yang membolehkan hal ini?
Jawab :

Tidak boleh bagi kita bekerjasama dengan orang-orang Nashrani dalam melaksanakan hari raya mereka, walaupun ada sebagian orang yang dikatakan berilmu melakukan semacam ini. Hal ini diharamkan karena dapat membuat mereka semakin bangga dengan jumlah mereka yang banyak. Di samping itu pula, hal ini  termasuk bentuk tolong menolong dalam berbuat dosa. Padahal Allah berfirman,

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al Maidah [5] : 2)

Semoga Allah memberi taufik pada kita. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, pengikut dan sahabatnya.
Ketua Al Lajnah Ad Da’imah : Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz
Saatnya Menarik Kesimpulan
Dari penjelasan di atas, kita dapat menarik beberapa kesimpulan :

Pertama, Kita –kaum muslimin- diharamkan menghadiri perayaan orang kafir termasuk di dalamnya adalah perayaan Natal. Bahkan mengenai hal ini telah dinyatakan haram oleh Majelis Ulama Indonesia sebagaimana dapat dilihat dalam fatwa MUI yang dikeluarkan pada tanggal 7 Maret 1981.

Kedua, Kaum muslimin juga diharamkan mengucapkan ‘selamat natal’ kepada orang Nashrani dan ini berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qoyyim. Jadi, cukup ijma’ kaum muslimin ini sebagai dalil terlarangnya hal ini. Yang menyelisihi ijma’ ini akan mendapat ancaman yang keras sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'minKami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”(QS. An Nisa’ [4] : 115). Jalan orang-orang mukmin inilah ijma’ (kesepakatan) mereka.
Oleh karena itu, yang mengatakan bahwa Al Qur’an dan Hadits tidak melarang mengucapkan selamat hari raya pada orang kafir, maka ini pendapat yang keliru. Karena ijma’ kaum muslimin menunjukkan terlarangnya hal ini. Dan ijma’ adalah sumber hukum Islam, sama dengan Al Qur’an dan Al Hadits. Ijma’ juga wajib diikuti sebagaimana disebutkan dalam surat An Nisa ayat 115 di atas karena adanya ancaman kesesatan jika menyelisihinya.

Ketiga, jika diberi ucapan selamat natal, tidak perlu kita jawab (balas) karena itu bukanlah hari raya kita 
dan hari raya mereka sama sekali tidak diridhoi oleh Allah Ta’ala.

Keempat, tidak diperbolehkan seorang muslim pergi ke tempat seorang pun dari orang-orang kafir untuk mengucapkan selamat hari raya.

Kelima, membantu orang Nashrani dalam merayakan Natal juga tidak diperbolehkan karena ini termasuk tolong menolong dalam berbuat dosa.

Keenamdiharamkan bagi kaum muslimin menyerupai orang kafir dengan mengadakan pesta natal, atau saling tukar kado (hadiah), atau membagi-bagikan permen atau makanan dalam rangka mengikuti orang kafir pada hari tersebut.
Demikianlah beberapa fatwa ulama mengenai hal ini. Semoga kaum muslimin diberi taufiko oleh Allah untuk menghindari hal-hal yang terlarang ini. Semoga Allah selalu menunjuki kita ke jalan yang lurus dan menghindarkan kita dari berbagai penyimpangan. Hanya Allah-lah yang dapat memberi taufik.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘alihi wa shohbihi wa sallam.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

 Sumber: http://indonesian.iloveallaah.com/bolehkah-seorang-muslim-mengucapkan-selamat-natal/