Jumat, 28 September 2012

Ketika Monas Jadi Saksi, Keteguhan Ulama Sejati, Perjuangkan Negara Warisan Nabi





  
Sejuknya semilir angin malam di pusat jantung ibukota Jakarta ternyata tidak mampu mendinginkan panasnya hati sekitar 7000 kyai, ustadz, habib, santri dan aktivis Islam yang marah dengan penghinaan kafir Barat terhadap kehormatan Rasulullah SAW melalui film yang dibuat seorang Kristen Koptik berkewarganegaraan Amerika.
Para ulama yang berkumpul pada Selasa (25/9) di lapang selatan Monumen Nasional dari pukul 20.00 WIB-00.30 WIB tersebut mengutuk pembuatan dan penyebarluasan film serta mengutuk juga  pemerintah Amerika yang membiarkan begitu saja film ini dibuat dan disebarluaskan ke seluruh dunia. “Ini perbuatan biadab yang tidak bisa dibiarkan!” pekik KH Muhyiddin, Pimpinan Ponpes An Nur Pamijahan Kabupaten Bogor.
Mereka pun geram, lantaran beberapa hari sebelumnya, antek penjajah di dalam negeri melontarkan wacana Sertifikasi Ulama. “Sertifikasi ulama jelas-jelas melecehkan dan mengkerdilkan para ulama, mendiskriditkan Islam serta menciderai perasaan umat Islam!” pekik KH Ahmad Zainuddin Qh, Pimpinan Ponpes Al Husna Cikampek.
Meski demikian, akal peserta Silaturahim Akbar Keluarga Besar Hizbut Tahrir Indonesia bersama Ulama tersebut tetap dingin dan berfikir jernih sehingga para pewaris Nabi ini menyadari bahwa solusi untuk menghentikan kekejian itu tiada lain dengan menegakkan kembali khilafah, negara Islam warisan Nabi SAW yang menjaga kehormatan Nabi SAW, ulama dan kaum Muslimin.
Menurut Muhyiddin, hanya khilafah yang secara nyata menghentikan semua penghinaan itu serta melindungi kehormatan Islam dan umatnya sebagaimana dilakukan oleh Khalifah Abdul Hamid II terhadap Inggris dan Perancis yang hendak mementaskan drama karya Voltaire yang menghina Nabi Muhammad SAW.
“Ketegasan sang khalifah yang akan mengobarkan jihad melawan Inggris itulah yang akhirnya menghentikan rencana jahat itu sehingga kehormatan Rasulullah SAW tetap terjaga!” ungkapnya.
Dengan khilafah itu pula kaum Muslimin akan mengepung negara-negara yang mencela Rasulullah SAW. “Sebagaimana Beliau SAW mengepung kaum Yahudi Bani Quraidhah yang melindungi orang yang mencela Beliau SAW,” dalilnya.
Demokrasi vs Islam
Sedangkan Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia Heru Binawan menyinggung isu lokal Jakarta. Ia menyebutkan Jakarta baru saja mengadakan pemilihan gubernur dan setelah hasil pemilihan diketahui, sebagian merasa sedih karena kalah dan sebagian merasa senang karena menang. “Sikap Hizbut Tahrir dan para pendukungnya adalah tidak akan ikut bersedih dan tidak akan memberi selamat kepada pemenangnya,” tegas Heru.
Karena, lanjutnya, jalan yang ditempuh Hizbut Tahrir adalah membina umat dengan Islam agar masyarakat mengenal dan rindu pada Islam serta mau turut memperjuangkan tegaknya syariah dan khilafah. Perjuangan menegakkan syariah dan khilafah adalah perjuangan yang mulia, pelakunya akan mendapatkan pahala yang besar di sisi Allah SWT. “Oleh karena itu para ulama harus fokus dalam membina umat,” ajaknya.
Heru pun menjelaskan bahwa demokrasi lahir dari akidah yang bertentangan dengan akidah Islam. Akidah demokrasi adalah memisahkan agama dari kehidupan manusia, yang selanjutnya melahirkan pemisahan agama dari negara sehingga tidak akan pernah bertemu Islam dan demokrasi.
“Tidak akan pernah bertemu perjuangan ideologis menegakkan syariah Islam dalam bingkai khilafah yang bersifat internasional di seluruh negeri-negeri Islam dengan perjuangan demokrasi sekuler lokal,” ungkapnya.
Sedangkan Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia Rokhmat S Labib berpesan kepada para ulama dalam upaya membangkitkan umat. Menurutnya, ulama harus menyatakan secara tegas kepada umat agar melepaskan ikatan secara total dengan ideologi yang lahir dari akidah kufur termasuk nasionalisme dan demokrasi. “Akidah kufur itu najis, sudah selayaknya kaum Muslimin meninggalkannya!” tegasnya.
Pesan lainnya adalah bahwa ulama harus terus menyadarkan kepada umat bahwa umat Islam itu adalah umat yang satu. “Umat Islam Indonesia, Malaysia, India bahkan Amerika adalah umat Islam yang satu! Sudah saatnya bersatu, tunjukkan jati dirinya sebagai umat kuat, umat terbaik yang mengusir tentara Amerika!” teriak Rokhmat.
Namun, persatuan dan kekuatan itu akan terhimpun ketika ikatan nasionalisme tercerabut seiring menguatnya ikatan akidah Islam dan tegaknya khilafah Islam, sebagai negara pemersatu dan penghimpun kekuatan seluruh potensi umat Islam.
Kemudian Rokhmat pun mengajak para ulama untuk bergabung memperjuangkan tegaknya kembali sistem pemerintahan warisan Nabi SAW tersebut. “Maukah saudara-saudara berjuang dengan kelompok yang memperjuangkan tegaknya khilafah?” tanya Rokhmat.
“Mauuu...” pekik ribuan peserta.
“Maukah bergabung dengan Hizbut Tahrir?” tanyanya lagi.
Serentak peserta pun kembali menjawab mau.
Menyambut Seruan
Tidak puas hanya dengan mendengar jawaban mau secara serentak seperti itu, panitia pun mempersilakan beberapa ulama untuk naik podium untuk menyatakan kesiapannya. “Mudah-mudahan semua yang ada di sini adalah ulama yang mau berjuang dengan wadah Hizbut Tahrir,” harap Pimpinan Ponpes Nurul Ulum Jember KH Abdullah, ulama dari Jawa Timur yang sengaja didatangkan untuk mengajak peserta berjuang bersama.
Dengan pakaian hitam-hitam dan berikat kepala hitam khas adat Banten Kidul, Abah Hideung menyatakan kesediaannya.  “Insya Allah, saya akan menjemput khilafah ini dengan kebahagian, berjihad bersama Hizbut Tahrir,” ungkap Pimpinan Ponpes An Nidzamiyah Cicurug, Sukabumi tersebut.
Sedangkan Habib Khalilullah bin Abu Bakar Al Habsyi mengaku merasa tercerahkan sejak dikontak aktivis Hizbut Tahrir. “Tiga tahun lalu saya dalam suasana kekufuran. Setelah Hizbut Tahrir menjelaskan dengan gamblang, faham saya, bahwa demokrasi ide kufur yang menginjak-injak dan mengebiri Islam,” ungkap Pimpinan Majelis Taklim Imdadul Hadadi Jakarta Timur  yang kemudian disambut takbir ribuan peserta tersebut.
Takbir yang berulang-kali dipekikkan para peserta membuat semangat semakin bergelora untuk berjuang bersama Hizbut Tahrir. Di tambah lagi dengan pembacaan syair Yaumun Nashr, yang berisi ajakan kembali menegakkan Islam kaffah dalam bingkai khilafah.  “Suasana ini seolah-olah Daulatul Khilafah sudah berdiri,” ungkap KH Mansyur Muhyiddin.
“Kita lanjutkan saja, jangan mundur ke belakang, demi tegaknya khilafah, demi tegaknya syariah Islam!” ajak pendiri Yayasan KH Wasyid 1888 Geger Cilegon, Banten tersebut.
Kemudian naiklah kyai sepuh usia 70-an ke podium. “Meski saya paling tua di podium ini tapi di Hizbut Tahrir saya paaaling muda, kurang lebih baru satu tahun saya mengenal Hizbut Tahrir, tapi baru empat bulan saya ‘sekolah’ di HT. Kelasnya baru kelas satu, kitabnya juga kitab satu tapi belum tamat,” aku Pimpinan Ponpes Subul El Salam Jayanti, Tangerang KH Jauhari dengan jujur yang kemudian disambut tawa peserta.
Alumnnus Ponpes Modern Gontor Ponorogo, Jawa Timur tersebut pun berpesan kepada ribuan ulama yang masih muda-muda di depannya. “Jangan jadikan ilmu itu ilmu thok, tetapi harus diamalkan, agar dapat melaksanakan amanah sebagai ulama yang harus berada dalam garda terdepan dalam menegakkan khilafah dan syariah,” tegasnya kemudian disambut takbir hadirin.
Suasana semakin panas ketika sekitar sebelas ulama termasuk mereka yang naik podium menandatangani dua piagam raksasa yakni Tausiyah Ulama’: Sertifikasi Ulama Haram dan Tausiyah Ulama’:Hukuman Mati untuk Siapa pun yang Menghina Rasulullah SAW. Sebagian peserta berdiri sembari meneriakan takbir, sebagiannya lagi mendekat panggung agar lebih jelas lagi melihat dan memotret proses penandatanganan tersebut.
Untuk semakin memanaskan suasana, peserta lainnya mengibarkan bendera warisan Nabi Muhammad SAW yakni bendera hitam (raya’) dan bendera putih (liwa’) bertuliskan dua kalimat syahadat. Kedua bendera tersebut dengan izin Allah akan segera berkibar di atas seluruh tiang bendera di lebih dari 57 negeri Islam seraya diturunkannya bendera nasionalisme warisan penjajah kafir Barat (kapitalisme, demokrasi) maupun kafir Timur (komunisme, sosialisme). Aamiin.[] Joko Prasetyo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar