Sejuknya
semilir angin malam di pusat jantung ibukota Jakarta ternyata tidak
mampu mendinginkan panasnya hati sekitar 7000 kyai, ustadz, habib,
santri dan aktivis Islam yang marah dengan penghinaan kafir Barat
terhadap kehormatan Rasulullah SAW melalui film yang dibuat seorang
Kristen Koptik berkewarganegaraan Amerika.
Para ulama yang berkumpul pada Selasa (25/9) di lapang selatan
Monumen Nasional dari pukul 20.00 WIB-00.30 WIB tersebut mengutuk
pembuatan dan penyebarluasan film serta mengutuk juga pemerintah
Amerika yang membiarkan begitu saja film ini dibuat dan disebarluaskan
ke seluruh dunia. “Ini perbuatan biadab yang tidak bisa dibiarkan!”
pekik KH Muhyiddin, Pimpinan Ponpes An Nur Pamijahan Kabupaten Bogor.
Mereka pun geram, lantaran beberapa hari sebelumnya, antek penjajah di dalam negeri melontarkan wacana Sertifikasi Ulama.
“Sertifikasi ulama jelas-jelas melecehkan dan mengkerdilkan para
ulama, mendiskriditkan Islam serta menciderai perasaan umat Islam!”
pekik KH Ahmad Zainuddin Qh, Pimpinan Ponpes Al Husna Cikampek.
Meski demikian, akal peserta Silaturahim Akbar Keluarga Besar Hizbut Tahrir Indonesia bersama Ulama tersebut
tetap dingin dan berfikir jernih sehingga para pewaris Nabi ini
menyadari bahwa solusi untuk menghentikan kekejian itu tiada lain dengan
menegakkan kembali khilafah, negara Islam warisan Nabi SAW yang
menjaga kehormatan Nabi SAW, ulama dan kaum Muslimin.
Menurut Muhyiddin, hanya khilafah yang secara nyata menghentikan
semua penghinaan itu serta melindungi kehormatan Islam dan umatnya
sebagaimana dilakukan oleh Khalifah Abdul Hamid II terhadap Inggris dan
Perancis yang hendak mementaskan drama karya Voltaire yang menghina
Nabi Muhammad SAW.
“Ketegasan sang khalifah yang akan mengobarkan jihad melawan Inggris
itulah yang akhirnya menghentikan rencana jahat itu sehingga
kehormatan Rasulullah SAW tetap terjaga!” ungkapnya.
Dengan khilafah itu pula kaum Muslimin akan mengepung negara-negara
yang mencela Rasulullah SAW. “Sebagaimana Beliau SAW mengepung kaum
Yahudi Bani Quraidhah yang melindungi orang yang mencela Beliau SAW,”
dalilnya.
Demokrasi vs Islam
Sedangkan Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia Heru Binawan menyinggung
isu lokal Jakarta. Ia menyebutkan Jakarta baru saja mengadakan
pemilihan gubernur dan setelah hasil pemilihan diketahui, sebagian
merasa sedih karena kalah dan sebagian merasa senang karena menang.
“Sikap Hizbut Tahrir dan para pendukungnya adalah tidak akan ikut
bersedih dan tidak akan memberi selamat kepada pemenangnya,” tegas
Heru.
Karena, lanjutnya, jalan yang ditempuh Hizbut Tahrir adalah membina
umat dengan Islam agar masyarakat mengenal dan rindu pada Islam serta
mau turut memperjuangkan tegaknya syariah dan khilafah. Perjuangan
menegakkan syariah dan khilafah adalah perjuangan yang mulia, pelakunya
akan mendapatkan pahala yang besar di sisi Allah SWT. “Oleh karena itu
para ulama harus fokus dalam membina umat,” ajaknya.
Heru pun menjelaskan bahwa demokrasi lahir dari akidah yang
bertentangan dengan akidah Islam. Akidah demokrasi adalah memisahkan
agama dari kehidupan manusia, yang selanjutnya melahirkan pemisahan
agama dari negara sehingga tidak akan pernah bertemu Islam dan
demokrasi.
“Tidak akan pernah bertemu perjuangan ideologis menegakkan syariah
Islam dalam bingkai khilafah yang bersifat internasional di seluruh
negeri-negeri Islam dengan perjuangan demokrasi sekuler lokal,”
ungkapnya.
Sedangkan Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia Rokhmat S Labib berpesan
kepada para ulama dalam upaya membangkitkan umat. Menurutnya, ulama
harus menyatakan secara tegas kepada umat agar melepaskan ikatan secara
total dengan ideologi yang lahir dari akidah kufur termasuk
nasionalisme dan demokrasi. “Akidah kufur itu najis, sudah selayaknya
kaum Muslimin meninggalkannya!” tegasnya.
Pesan lainnya adalah bahwa ulama harus terus menyadarkan kepada umat
bahwa umat Islam itu adalah umat yang satu. “Umat Islam Indonesia,
Malaysia, India bahkan Amerika adalah umat Islam yang satu! Sudah
saatnya bersatu, tunjukkan jati dirinya sebagai umat kuat, umat terbaik
yang mengusir tentara Amerika!” teriak Rokhmat.
Namun, persatuan dan kekuatan itu akan terhimpun ketika ikatan
nasionalisme tercerabut seiring menguatnya ikatan akidah Islam dan
tegaknya khilafah Islam, sebagai negara pemersatu dan penghimpun
kekuatan seluruh potensi umat Islam.
Kemudian Rokhmat pun mengajak para ulama untuk bergabung
memperjuangkan tegaknya kembali sistem pemerintahan warisan Nabi SAW
tersebut. “Maukah saudara-saudara berjuang dengan kelompok yang
memperjuangkan tegaknya khilafah?” tanya Rokhmat.
“Mauuu...” pekik ribuan peserta.
“Maukah bergabung dengan Hizbut Tahrir?” tanyanya lagi.
Serentak peserta pun kembali menjawab mau.
Menyambut Seruan
Tidak puas hanya dengan mendengar jawaban mau secara serentak
seperti itu, panitia pun mempersilakan beberapa ulama untuk naik podium
untuk menyatakan kesiapannya. “Mudah-mudahan semua yang ada di sini
adalah ulama yang mau berjuang dengan wadah Hizbut Tahrir,” harap
Pimpinan Ponpes Nurul Ulum Jember KH Abdullah, ulama dari Jawa Timur
yang sengaja didatangkan untuk mengajak peserta berjuang bersama.
Dengan pakaian hitam-hitam dan berikat kepala hitam khas adat Banten
Kidul, Abah Hideung menyatakan kesediaannya. “Insya Allah, saya akan
menjemput khilafah ini dengan kebahagian, berjihad bersama Hizbut
Tahrir,” ungkap Pimpinan Ponpes An Nidzamiyah Cicurug, Sukabumi
tersebut.
Sedangkan Habib Khalilullah bin Abu Bakar Al Habsyi mengaku merasa
tercerahkan sejak dikontak aktivis Hizbut Tahrir. “Tiga tahun lalu saya
dalam suasana kekufuran. Setelah Hizbut Tahrir menjelaskan dengan
gamblang, faham saya, bahwa demokrasi ide kufur yang menginjak-injak
dan mengebiri Islam,” ungkap Pimpinan Majelis Taklim Imdadul Hadadi
Jakarta Timur yang kemudian disambut takbir ribuan peserta tersebut.
Takbir yang berulang-kali dipekikkan para peserta membuat semangat
semakin bergelora untuk berjuang bersama Hizbut Tahrir. Di tambah lagi
dengan pembacaan syair Yaumun Nashr, yang berisi ajakan kembali menegakkan Islam kaffah dalam bingkai khilafah. “Suasana ini seolah-olah Daulatul Khilafah sudah berdiri,” ungkap KH Mansyur Muhyiddin.
“Kita lanjutkan saja, jangan mundur ke belakang, demi tegaknya
khilafah, demi tegaknya syariah Islam!” ajak pendiri Yayasan KH Wasyid
1888 Geger Cilegon, Banten tersebut.
Kemudian naiklah kyai sepuh usia 70-an ke podium. “Meski saya paling
tua di podium ini tapi di Hizbut Tahrir saya paaaling muda, kurang
lebih baru satu tahun saya mengenal Hizbut Tahrir, tapi baru empat
bulan saya ‘sekolah’ di HT. Kelasnya baru kelas satu, kitabnya juga
kitab satu tapi belum tamat,” aku Pimpinan Ponpes Subul El Salam
Jayanti, Tangerang KH Jauhari dengan jujur yang kemudian disambut tawa
peserta.
Alumnnus Ponpes Modern Gontor Ponorogo, Jawa Timur tersebut pun
berpesan kepada ribuan ulama yang masih muda-muda di depannya. “Jangan
jadikan ilmu itu ilmu thok, tetapi harus diamalkan, agar dapat
melaksanakan amanah sebagai ulama yang harus berada dalam garda
terdepan dalam menegakkan khilafah dan syariah,” tegasnya kemudian
disambut takbir hadirin.
Suasana semakin panas ketika sekitar sebelas ulama termasuk mereka yang naik podium menandatangani dua piagam raksasa yakni Tausiyah Ulama’: Sertifikasi Ulama Haram dan Tausiyah Ulama’:Hukuman Mati untuk Siapa pun yang Menghina Rasulullah SAW.
Sebagian peserta berdiri sembari meneriakan takbir, sebagiannya lagi
mendekat panggung agar lebih jelas lagi melihat dan memotret proses
penandatanganan tersebut.
Untuk semakin memanaskan suasana, peserta lainnya mengibarkan bendera warisan Nabi Muhammad SAW yakni bendera hitam (raya’) dan bendera putih (liwa’)
bertuliskan dua kalimat syahadat. Kedua bendera tersebut dengan izin
Allah akan segera berkibar di atas seluruh tiang bendera di lebih dari
57 negeri Islam seraya diturunkannya bendera nasionalisme warisan
penjajah kafir Barat (kapitalisme, demokrasi) maupun kafir Timur
(komunisme, sosialisme). Aamiin.[] Joko Prasetyo |